KONSEP PILPRES JOKOWI 2014 (belum jadi)
Kamis, 17 Juli 2014
KONSEP PILPRES JOKOWI 2014 (selesai ah)
Sabtu, 19 Juli 2014
SALAM ˅ damai 2 JARI ˅ 1 negeri
(Amanah Kepemimpinan Nasional)
Prolog
Kita
belajar segala sesuatu dari Tuhan melalui siapa saja dan apapun juga, termasuk
internet. Kini adalah saatnya, dan disini adalah tempatnya bagi kita untuk
saling berbagi. Tidak hanya sekedar menerima namun juga untuk saling
memberi demi pemberdayaan bersama dalam Wujud, Kuasa, dan Kasih-Nya. .Sejumlah
orang, blog, websites melalui media Internet telah banyak membantu kita dalam
pencarian dan perolehan data yang kita perlukan. Ini saat dan tempat kita untuk
saling asah, asih dan asuh dengan saling berbagi (reload data penting) dan
‘membalas budi’ (upload karya pribadi) bagi kemanfaaatan pemberdayaan pengguna
internet lainnya.
Pilpres
2014 ini ternyata cukup mengesankan bagi sebagian besar warga bangsa Indonesia
lainnya karena baru kali ini tampaknya benar-benar bisa ‘buat rame’
berpartisipasi aktif tanpa perlu mobilisasi eksternal dari siapapun saja atau
apapun juga. Ini bahkan terasa melebihi Pemilu 1998 pada awal reformasi dulu
(ada kegairahan yang lebih besar ketimbang sekedar pengharapan belaka). Mau
tidak mau akhirnya blog ini
walau tidak dimaksudkan bersifat politik (secara pribadi saya
memang kurang interest dengan masalah politik dan manuvernya dikarenakan saya sesungguhnya
hanya tertarik dengan pencerahan kesadaran gnosis keabadian dan kecakapan wajar
dharma pembumi saja) namun demikian karena ini juga berkaitan dengan totalitas
perjalanan hidup pada garisNya, tanpa maksud provokatif terpaksa ikut-ikutan
bikin rame juga,ah. Semoga jika walau tidak bisa membantu namun tetap tidak
mengganggu. Semoga ini (keterlibatan tanpa kemelekatan sehingga tetap ada
keberimbangan walau dalam keberfihakan) tidak membebani atsar kehidupan nanti.
Saya akan berusaha adil dan arif dengan melandaskan pembahasan artikel ini pada
sejumlah hadits arbain Imam Nawawi untuk maksud pemberdayaan dalam bulan suci
Ramadhan ini dan semoga bukan untuk memperdayakan. Semoga Tuhan mengarahkannya
dalam pencerahan karena saya dengan segala keterbatasan dan pembatasan yang ada
(mungkin juga termasuk keberfihakan walau dalam keberimbangan sekalipun) sama
sekali tidak berniat untuk melakukan penyesatan.
A. Demi Keberkahan Untuk Jokowi
HADITS KEDUAPULUH SATU
عَنْ
أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي
اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ . قَالَ : قُلْ
آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
“ Yaa rosuulalloohi, qullii al islaami ~
qoulaan laa as-alu ‘anhu ahadan ghoiroka.”
“ Qul aamantu billaahi – tsummas taqim.”
Dari Abu Amr, -ada
juga yang mengatakan- Abu ‘Amrah, Suufyan bin Abdillah Ats Tsaqofi
radhiallahuanhu dia berkata, saya berkata : Wahai Rasulullah shollallohu
‘alaihi wa sallam, katakan kepada saya tentang Islam sebuah perkataan
yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu. Beliau bersabda:
Katakanlah: saya beriman kepada Allah, kemudian berpegang teguhlah.
(Riwayat Muslim).
1. IJTIHADAH
Ijtihad
bukanlah hak para orang yang melabelkan diri dengan nama ulama saja tetapi bagi
setiap hamba Allooh bahkan makhlukNya yang lain dalam membentang pandangannya
untuk menentukan pilihan. Ijtihad (dalam pengertian lughoh ilmiah dan tidak
selalu “syar’i fuqoha”) bukan hanya monopoli kelompok para ulama yang
meng-klaim sesuai hadits sebagai “pewaris Nabi” (harusnya untuk amanah
kebenaran bukan untuk label pembenaran kekuasaan) apalagi jika memiliki maksud
tersirat walau tak terungkap secara picik dan licik dengan mengharamkan
pasangan capres/cawapres tertentu hanya dikarenakan memiliki pandangan yang
berseberangan. Ditambah lagi sejumlah kampanye hitam yang bukan hanya
menyudutkan namun sudah menjurus pembunuhan karakter yang sadis dan sistematis
dengan ghibah dan fitnah yang sama sekali jauh dari nilai-nilai Islami dari sejumlah
tokoh/ ormas partai berlabel islam. Secara pribadi (yang seharusnya juga tetap
Robbani – untuk kaffah dengan menjalani kebenaran ilmuNya), saya sangat
menyayangkan hal ini. Empati kemanusiaan tentunya akan mengusik nurani kita
semua jika kita jujur mengakuinya. Jokowi (dan juga JK) adalah pribadi yang
tentu saja (sama sebagaimana kebanyakan kita manusia lainnya) bukanlah figure
sempurna (dimana senantiasa ada kelemahan disamping kebaikannya … selalu ada
kekurangan disamping kelebihannya). Namun demikian bukankah mereka adalah
pribadi yang relative lebih baik dari yang ada
sehingga rakyat kemudian membela, meminta dan mendukungnya ketika mereka
kemudian ‘terpaksa/suka-rela’ bersedia
menerima amanah kepemimpinan nasional yang ditawarkan kepada mereka). Track
record mereka sebagai pribadi-pun pada kenyataannya sesungguhnya (jika kita mau
jujur mengakui) tidak seburuk yang kita ingin anggapkan kepada diri kita dan
orang lain ~ asalkan dilakukan tanpa adanya tekanan akan kepentingan atau
desakan untuk kebanggaan diri saja. Pengharapan akan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik dari rakyat (yang memilih atau tidak memilihnya) juga
tidak bisa disalahkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka maju sebagai
kandidat pilpres 2014 ini. Dengan tanpa menafikan kehadiran kandidat lainnya
(yang akhirnya resmi: Prabowo – Hatta) dan juga tiada maksud untuk mengabaikan
keberadaaan tokoh lainnya (yang belum ‘beruntung’), simpati kepribadian, empati
kemanusiaan dan pengharapan perbaikan akhirnyalah yang kami jadikan tiga alasan
utama untuk membelanya untuk kebaikan bersama, menjaganya demi keberkahan
nantinya dan memilihnya untuk memulai keberhasilan perjalanannya.
Besar
harapan kami (baca: yang tetap istiqomah dalam pengharapan kepada Tuhan untuk
menjadi media ‘pengantar’ bagi keterpilihan mereka) bahwa mereka akan bersegera
melakukan 3 (tiga) hal besar bagi bangsa dan negeri ini: Transformasi
perbaikan, Transparansi keterbukaan dan Transendensi keberkahan.
a. Transformasi Perbaikan
Transformasi
perbaikan memang bisa dilakukan oleh siapa saja namun demikian akan relative
bisa segera dilakukan jika dilakukan oleh ‘orang baru’ yang belum tercemari,
terbebani serta tersandera oleh kelompok kepentingan politis tertentu. Walaupun
mungkin baru sebatas wacana, kerja sama tanpa syarat tampaknya lebih memberikan
jaminan akan adanya kesegeraan bagi pemberdayaan dan bukan menundanya untuk
keterpedayaan. Paradigma ideal ini walaupun diakui ‘populis’ oleh sebagian
besar rakyat namun pastilah tidak “popular” bagi para ‘wakil rakyat’ (yang
karena beaya politik dan mesin partai yang relative besar dalam peraihan suara
yang mengantarkan mereka maka dirasa perlu untuk balen ‘balik modal’ dan baten
‘keuntungan fasilitas financial dan jabatan structural’ selanjutnya.) Jika
konstelasi politik kemudian menjadikan fihak ‘koalisi rakyat’ yang akan
menjadikannya kuat nantinya namun akan “lemah” pada awalnya itu sudah dapat
diprediksi sebelumnya (karena bukankah kecenderungan politik yang menjadikan
kekuasaan sebagai obyek dan bukan kebenaran sebagai subyek memang akan
menjadikan demikian halnya ?). Saya justru memandang problematika ini sebagai
media pembelajaran dan pemberdayaan politik dari Tuhan yang baik bagi bangsa
ini karena akan ada perimbangan kekuatan di legislative dan eksekutive
nantinya.
Jika transformasi berjalan benar, maka mungkin
akan ada ‘quantum leap’ (lompatan perbaikan) yang akan mengatasi
otoritarianisme ‘rezim’ presidential dan oportunisme ‘mafia’ parlementer dan
menggesernya kepada demokrasi kerakyatan yang sesungguhnya (mufakat demi
kemaslahatan rakyat, bangsa dan Negara ini bukan sekedar ‘adu voting kekuatan’
apalagi perselingkuhan/ penyelewengan yang bukan hanya mengakibatkan chaos
politik tetapi juga respek publik terhadap kepentingan mereka masing-masing).
Untuk itu diperlukan unsur ke-dua yang sangat vital dimana rakyat ‘perlu tahu’
dan ‘ambil bagian’ dalam pembelajaran dan pemberdayaan bangsa dan negaranya
melalui media massa yaitu Transparansi keterbukaan.
b. Transparansi Keterbukaan
Peristiwa
itu adalah fakta yang terjadi namun sejarah bisa saja tercipta - sehingga dalam dinamika perjalanan
kehidupan berbangsa dan bernegara terkadang sesuatu bisa direvisi atau dirubah
berdasarkan sudut pandang kepentingan yang berbeda tergantung pada siapa yang
‘berkuasa’ saat itu (His-story bukan History ?). Dusta publik bisa saja terjadi sementara
dampak karmic – mau tidak mau - harus
dialami (bukan hanya pada pelaku namun juga termasuk mereka yang di luar
lingkaran kepentingan namun berada pada bahtera yang sama). Walaupun terkadang
kami bisa menerima kerahasiaan (selama itu memang demi kemaslahatan bersama dan
bukan sekedar untuk pengelabuan sesama) namun demikian keterbukaan sebagai
suatu kebijakan (baca: ‘kebijaksanaan’ yang mementingkan kebenaran dan bukan
‘kebijaksinian‘ untuk membenarkan kepentingan belaka) tampaknya lebih ‘fair’
untuk dilakukan (agar upaya ‘amar ma’ruf – nahi munkar‘, saling asah, asih dan
asuh bisa dilakukan bersama dalam
kepercayaan, demi keberdayaan dan untuk kebersamaan kita semua sebagai putera
bangsa/ warga negara).
Saya
rasa ini bukan sekedar mimpi yang indah belaka jika saya mendambakan keberadaan
demokrasi dalam control langsung oleh rakyat disamping pemanfaatan
fasilitas mass media dan kotak saran
yang ada jika negara ini juga
menghadirkan cyber area/ digital city yang memungkin rakyat berhak
segera tahu dalam meng-akses regulasi program (atau proyek?) yang akan dibuat /dijegal
(?), budgeting/ auditing yang sedang berlangsung, informasi
pembangunan/penyelewengan yang terjadi, dlsb.
Untuk kemudian mereka diberikan kesempatan juga untuk sumbang saran demi
kebaikan dan perbaikan negerinya. Ini
bukan berarti rakyat meragukan para wakilnya namun hanya mengingatkan, menegaskan dan
bahkan menguatkan agar mereka tidak
melupakan atau mengabaikan amanah kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Besar harapan generasi muda (pelajar, mahasiswa,pemuda, dsb) diberi kesempatan
untuk mendapatkan pembelajaran dan pemberdayaan bagi kesiapan dan persiapan
bagi estafet kepemimpinan nasional nantinya. Namun demikian itupun harusnya ada
filter kategorisasi dari saran rakyat yang masuk (apakah hanya asal bunyi saja
ataukah memang saran nyata adanya, apakah sarat dengan pembenaran kepentingan
tertentu ataukan memang semata untuk mementingkan kebenaran bersama, apakah
hanya sekedar impian utopis ataukan memang cukup realistis untuk dilaksanakan
secara effektif, effisien dan ekonomis) .
Transparansi
publik sangat diperlukan terutama pada saat reformasi ini dimana ada celah
kesenjangan ke-tata-negaraan dalam keberimbangan penyelenggaraan pemerintahan
paska amandemen UUD 1945. Para pendiri bangsa secara bijaksana sesungguhnya
sudah memperkirakan kemungkinan pemilahan kekuatan (bukan sekedar pemisahan
kekuasaan politis belaka atas ‘trias politica’: legislative, eksekutif dan
yudikatif) ini sebelumnya. Kalaupun ada ‘penyelewengan’ di kemudian hari (masa
‘demokrasi terpimpin’ orde lama dan masa ‘rezim presidensiil’ orde baru)
sebetulnya itu lebih dari kenaifan penafsiran ‘hukum’ dan keliaran pelaksanaan
‘etika’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya kedaulatan MPR
(sebagai perengkuh Haq amanah bagi seluruh ‘wakil’ rakyat bukan hanya DPR namun
juga DPD disamping media suara rakyat lainnya untuk menjaga parlemen agar tidak
terjerumus sebagai ‘mafia’ mesin politik belaka dalam perselingkuhan
transaksional yang walau sesungguhnya tidak halal untuk dibenarkan secara etika
tetapi tampak ‘legal’ tidak disalahkan secara hukum dalam era demokrasi liberal
paska kemerdekaan dan setelah reformasi) dan kewibawaan DPA (sebagai penasehat
Haq amanah pemerintahan seluruh ‘wakil’ rakyat bukan hanya pada level
kepresidenan namun juga bagi jajaran ‘raja kecil’ kepemimpinan di tingkat
bawahnya seperti gubernur, walikota, bupati hingga tingkat desa agar tidak
terjerumus sebagai ‘rezim’ mesin politik belaka dalam penyelewengan
terlegitimasi yang serupa dalam era demokrasi terpimpin orde lama dan bahkan
orde baru walau berlabelkan ‘demokrasi pancasila’). Dalam setiap dharma
(walaupun itu politik ) aktualisasi nilai kebenaran adalah lebih utama daripada
sekedar pembanggaan identifikasi label, defisiensi kepentingan apalagi
eksploitasi pembenaran. Senantiasa ada Haq tanggung jawab yang besar dari
setiap hak wewenang yang diberikan rakyat kepada para wakilnya (baik ditingkat
parlemen maupun kepresidenan dan produk jabatan sebelum dan sesudahnya). Walaupun keberadaan lembaga baru yudikatif
(Mahkamah Agung yang kemudian secara inovatif dipilah menjadi Mahkamah
konstitusi, komisi yudisial disamping mahkamah agung sebelumya) tetap dihargai
kedudukan dan peranannya namun demikian walaupun berkoridor ‘legalitas’ hukum
yang terlegitimasi sekalipun jika tanpa ethika ‘good will’ yang benar inipun
akan rentan dengan penyelewengan, perselingkuhan bahkan penyesatan selama
berada di pemangku jabatan yang tidak/kurang benar. Pada setiap jabatan sangat
diperlukan pengembanan amanah yang bukan hanya ‘qualified’ dari segi keahlian
namun juga ‘bonafide’ dalam hal kearifan dan berintegritas dalam kebaikan agar
pengamanan kebaikan bisa terjaga dan kemajuan perbaikan bisa terlaksana. Agar
tiada lagi arogansi kepicikan dan rasionalisasi kelicikan maka transparansi publik
yang sesungguhnya berperanan besar tidak hanya sebagai gerbang pertama namun
juga benteng terakhir haruslah dihargai (tidak diabaikan) keberadaannya dan
diberdayakan (tidak diperdayakan) kedaulatannya. Vox populi, vox Dei …. Pada
hak suara rakyat yang diberikan ada Haq suara Tuhan yang harus ditegakkan. Dan
ini mengantar kita pada ketinggian pandangan dan kedalaman landasan setelah
keharusan transformasi perbaikan dan keperluan transparansi keterbukaan yaitu
Transendensi keberkahan.
c. Kebijakan Transendensi
And
.. finally … the last but not the least (dan
akhirnya yang paling akhir walau bukan yang paling remeh – karena inilah
sesungguhnya muara dari ke dua hal di atas) adalah Transendensi keberkahan.
Revolusi Mental , restorasi nasional atau apapun istilahnya nanti haruslah
melandaskan pada transendensi keberkahan Ilahi.
Tentang hal ini saya pernah posting artikel pada blog ini, antara lain
sebagai berikut:
Almarhum Romo Mangun (YB Mangunwijaya) pernah menyatakan
bangsa ini perlu transformasi tidak sekedar reformasi. Karena, sebagaimana burung
yang perlu dua sayap untuk terbang dan Manusia yang perlu dua kaki untuk
melangkah; demikian juga bagi bangsa ini yang memerlukan Transformasi dan
Transparansi untuk menjalani dan mengatasi kehidupannya. Transformasi adalah
pemberdayaan keseluruhan diri,suatu proses metamorfosis perbaikan dan
peningkatan kualitas diri. Dia bukanlah sekedar reformasi,suksesi pergantian di
luar namun tanpa perbaikan di dalam.(Sehingga: Walau bentuk system permukaan
tampaknya berubah, namun kultur kedalaman agaknya sama saja. Tokoh berganti
tetapi tetap tanpa fungsi.) Tampaknya memang Perlu Transformasi pemberdayaan
yang sejati bukan hanya untuk kebaikan tetapi juga kemajuan negeri ini. Perlu
Transparansi keterbukaan yang sejati bukan hanya untuk kepercayaan tetapi juga
untuk keteladanan di negeri ini. Agar dengan demikian Transendensi keberkahan
Robbani akan segera terjadi dan kesuksesan duniawi juga Insya Allooh akan
mengikuti.
Namun demikian kita para anak bangsa agaknya terlalu naïf
untuk memahami hal ini dan (bagaikan lingkaran setan ~ siklus Polybius) sangat
sering mengulangi kesalahan sejarah yang sama. Ketika absolutisme demi
stabilitas menampakkan dibiarkan maka tampak jelas sisi keburukan rezim
kezaliman yang membuat kita muak dan beralih kepada kebebasan. Ketika
liberalisme demi stabilitas vitalitas kebablasan dan menampakkan sisi
keburukan mafia keliaran; kita kembali muak dan beralih ke kemapanan. Demikian
seterusnya terjadi di dunia ini. Manusia memang berpotensi baik (arif &
asih) namun cenderung buruk (naïf & liar). Mandala kebersamaan manusiawi
yang tidak berlandaskan tiga pilar transformasi, transparansi dan transendensi
tampaknya memang telah digariskan oleh-Nya untuk tidak akan menerima keberkahan
abadi. Rhetorika visi program walau terkemas (sangat) sempurna namun tanpa
realisasi aksi tindakan yang terwujud (walau) sederhana akan percuma.
Istighotsah permohonan tetap mutlak memerlukan istiqomah pelayakan agar tidak
menjadi sia-sia. Bangsa ini walaupun memang secara alamiah telah terus beranjak
tua namun kelihatannya tidak mau menjadi dewasa. Pengalihan harapan akan
kehadiran tokoh mitologis Satrio Piningit, Noto nagoro, dan Ratu Adil semula
diekspose dan diotak-atik dan dipolitisir pada waktu itu (bahkan hingga saat
ini ternyata). Perlu difahami dan disadari bahwa tokoh tersebut adalah seluruh
putra bangsa. Karena bangsa ini hanya akan untuk menjadi baik dan maju jika
semua putra bangsa (tidak hanya satu satrio atau ratu adil saja) terjaga untuk
memberdayakan diri dan bangsanya.
Secara
pribadi, sesungguhnya saya memandang Transendensi keberkahan ini hendaknya
diletakkan pada posisi tertinggi mengatasi lainnya sebagaimana kelayakannya
(sila pertama Dasar Negara Panca Sila adalah KeTuhanan Yang Maha Esa –
Transendensi Kerobbaniahan yang mengatasi/melandasi sila berikutnya :
Kemanusiaan (Kemanusiaan yang adil dan beradab) – Kebangsaan (Persatuan
Indonesia) – Kerakyatan (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan
dalam permusyawaratn/perwakilan) – Keadilan (Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia). Tentu saja transendensi ini (dan juga yang lainnya) lebih
bersifat aktualisasi nilai dan bukan sekedar identifikasi label, defisiensi
kepamrihan apalagi eksploitasi pembenaran belaka. Kehidupan ini (termasuk kehidupan berbangsa
dan bernegara) pada dasarnya hanyalah media permainan keabadianNya belaka bagi
pembelajaran dan pemberdayaan kita semua. Hanya dengan berorientasi pada
keberkahanNya proses perjalanan bangsa ini akan mencapai kebaikan dan perbaikan
yang sesungguhnya. Bukan berarti saya tidak menghargai konsep ideologis
konstitusi dan regulasi perundangan yang telah susah payah difikir, dibahas dan
diputuskan; namun jika saja itu tidak dilaksanakan benar-benar dengan
sebenar-benarnya maka itu akan percuma saja. Permasalahan utama adalah
bagaimana cara kepemimpinan nasional tersebut dilaksanakan bukan sekedar model
pemerintahan atau kemasan perundangan yang di’pakem’kan sebagai yang ideal.
Sesungguhnya tidak ada yang sempurna dari system artificial apapun (termasuk
politik) di dunia ini – jika system tersebut sempurna maka dia tidak akan bisa
berjalan. Setiap thesis pemikiran senantiasa menghadirkan antithesis di ujung
lainnya dan karenanya senantiasa diperlukan synthesis penyeimbang pada triade
dialektika pandangan di antaranya agar terjadi keseimbangan dalam pandangan dan
keberimbangan dalam tindakan. Senantiasa ada celah dari setiap bangunan yang
ada karena ruangan hampa tersebut memang
diperlukan bagi pergerakan unsur di dalamnya untuk memberdayakan kebersamaan dan
bukan untuk memperdayainya. Sistem presidensiil memang memungkinkan
pemerintahan yang stabil untuk melakukan pembangunan namun kenaifan otoritarianisme
yang dimilikinya juga memungkinkan terjadinya rezim yang begitu kuat dan sangat
rentan untuk penyelewengan (zaman demokrasi terpimpin orde lama dan era
demokrasi orde baru). Demikian juga system ‘parlementer’ yang memberikan ruang
gerak politik bagi “kemeriahan” cita-rasa demokrasi di permukaan namun keliaran
liberalisme yang dimilikinya juga memungkinkan terjadinya mafia yang begitu
kuat dan sangat rentan untuk penyelewengan (zaman demokrasi liberal awal
kemerdekaan dan era demokrasi reformasi). Sementara jika keduanya dipadukan secara
naïf mungkin saja timbul perselingkuhan demikian juga jika dipisahkan secara
liar akan mengakibatkan perselisihan di antara ke duanya. Mandala kebersamaan manusiawi
yang tidak berlandaskan tiga pilar transformasi, transparansi dan transendensi
tampaknya memang telah digariskan oleh-Nya untuk tidak akan menerima keberkahan
abadi. Dan inilah sebabnya
disamping upaya transformasi perbaikan negeri dan transparansi keterbukaan
bangsa sangatlah utama untuk meletakkan transendensi keberkahan Ilahi di atas
segalanya. Dalam permainan keabadianNya yang disebut kehidupan ini, kita berada
dalam biduk bahtera yang sama sebagai putera bangsa dan warga negeri Indonesia
untuk saling memberdaya bukan saling memperdaya, untuk saling menguatkan bukan
saling melemahkan, untuk saling mendukung bukan saling menjatuhkan demi
kebersamaan dan untuk keberdayaan Indonesia sebagai negeri yang diberkahi oleh
TransendensiNya dikarenakan transformasi perbaikan dan transparansi keterbukaan
yang kita lakukan sesungguhnya hanyalah demi ridhoNya (ilallooh = lillaah,
billaah dan fillaah – untuk, dengan dan dalam keIlahian).
2. ISTIQOMAH
Umumnya
untuk kampanye, slogan seperti Indonesia hebat atau Indonesia bangkit tampak
begitu dahsyat .. mewah dan megah terdengar. Namun saya justru lebih terkesan
dengan slogan kepemimpinan nasional Jokowi – JK yang bersih, merakyat dan
sederhana walaupun terdengar bersahaja saja bagi orang lain namun bagi saya itu
adalah terminology yang lebih bernuansa dan mengena ketimbang slogan bombastis
sebelumnya. Dari pengamatan dan pengalaman , saya berasumsi bahwa kesempurnaan
selalu lahir dari rahim kesederhanaan robbaniyah (bukan sekedar untuk membuai
pembanggaan nafsaniyah saja) untuk kemudian secara alamiah hadir, hidup dan
tumbuh berkembang dalam pelayakan keberkahan Ilahiyah (tidak sekedar pembenaran
kepentingan belaka). Singkatnya, keistiqomahan diri dalam mementingkan
kebenaran Ilahi hendaknya diletakkan di singgasana tertinggi daripada sekedar
upaya pembenaran kepentingan belaka agar kemudian kita bisa mensikronisasikan
niat, cara, hasil dan dampak keberkahan di JalanNya (lillaah, billaah,
fiillaah) dan tidak melazimkan kezaliman dan membenarkan kesalahan dalam
mencapai tujuannya (ilaya, ilainaa, ilaihim).
NB = Pesan Sederhana tentang Kesederhanaan untuk Pak Jokowi
Saya
menyadari bahwa Pak Anies Baswedan berkata benar (agar kita semua) jangan
pernah bandingkan seorang Jokowi (ataupun yang lainnya termasuk diri kita
sendiri) dengan kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan bukan
milik kita para makhlukNya yang menjelajahi keabadian menempuh kehidupan dengan
segala keterbatasan yang ada secara Ilahiah dan pembatasan yang di-ada-kan
secara alamiah (terlebih pada saat dimana bapak banyak disudutkan dengan
sejumlah “pembunuhan karakter yang sadis dan sistematis” dari fihak yang tidak
menginginkan keberadaan, kehadiran dan kemenangan bapak dalam pilpres 2014 ini
ditambah lagi sebagai ‘korban media’ yang sejak semula diidolakan karena
aktualisasi ‘prestasi’ diri yang membuat ekspektasi publik untuk
kesempurnaannya menjadi terlalu tinggi dan bisa dimaklumi jika itupun semakin
mengundang kecemasan dan kedengkian di fihak lainnya.) Maafkan saya jika selama
ini saya mungkin memang dipandang sebagai bukan pembela yang ‘baik’ sebagaimana
yang diharapkan rekan saya para pendukung anda lainnya dikarenakan di permukaan
tampak tidak ‘tulus’ untuk selalu membenarkan kepentingan bapak bukan hanya
pada saat lalu namun mungkin juga akan demikian nantinya (seperti pada saat
debat pilpres ke-dua: http://pemilu.metrotvnews.com/read
/2014/06/16/253154/ soal-singkatan-jokowi-pemerintah-harus-ngerti-donk)
saya mengatakan sebagai berikut :
Maaf ... jika saya agak berbeda pendapat demi keberkahanNya.
Saya perlu membela yang dizalimi dan harus mencegah yang menzalimi (agar tidak
terjadi lagi pelaziman kezaliman selanjutnya). Walau saya pendukung yang sering
membela pak Jokowi kala dicela (masalah SARA, dll) saya perlu melakukan kritik
berkaitan dengan 'penzaliman'/'kefasikan'/’kekhilafan’ akan perkataan (Kita ini
kan mau pegang pemerintahan jadi harus tahu singkatan. Pemerintah harus ngerti
donk. DAU, DAK, TPID harus tahu ) ini. Saya tidak meragukan keunggulan kualitas
pengetahuan, pengalaman dan pembuktian pak Jokowi dalam pemerintahan daripada
pak Prabowo. Walaupun banyak orang mungkin memandang bapak lebih tinggi (karena
tahu singkatan, dll) namun adalah tidak haq bagi Pak Jokowi untuk
merendahkannya. Walaupun memang kenyataannya demikian, namun perkataan itu adalah kesombongan (yang tersirat),pak. Istighfar, Islah dan
kembalilah sederhana (Tawadhu) seperti dulu sebagaimana harusnya. Debat Pilpres
bukanlah acara Cerdas Cermat. Pilpres bagi rakyat Indonesia adalah media
demokrasi bukan hanya sekedar menghadirkan pemenang untuk berkuasa (dengan
kebanggaan) tetapi haruslah melahirkan negarawan untuk memimpin (dengan
keteladanan). Perlu empati kearifan yang mencakup keseluruhan agar bisa
mengayomi kebersamaan. Keahlian dan ‘kebaikan’ tanpa kearifan akan membawa
kenaifan berpandangan dan keliaran tindakan nantinya sebagaimana konsep
keimanan dan ritual keislaman tanpa roh keikhlasan ihsan akan membawa diri
dalam kefasikan dan kemunafikan belaka. Tuhan telah mengarahkan pak Jokowi
melalui pembelajaran tersirat tentang kearifan dari sikap kenegarawanan ini
melalui pidato Pak Prabowo saat deklarasi dan sikap sportifnya saat debat
capres tadi (sesi ekonomi kreatif). Jangan tertekan untuk ingin jadi pemenang
karena ini bukanlah persaingan dan tak perlu menghancurkan lawan karena ini
bukan perang. Ketulusan dukungan dan keikhlasan sumbangan kami hanyalah untuk
keberkahan perjuangan : Benar dan Tidak Salah (tidak masalah : menang atau
kalah – karena itu adalah Haq Mutlak Tuhan melalui hak seluruh rakyat yang
menentukannya. Segalanya adalah baik adanya jika disikapi dan dijalani secara
arif). Kami khawatir bukan hanya simpati rakyat namun berkah Ilahi akan menjauh
karenanya. Sehingga sebagaimana do’a Musa (QS 20: 25 – 28) sukses diterapkan
pada debat sebelumnya , amanah ayat ini (QS 20: 44) perlu kami sampaikan kepada
pak Jokowi demi keberkahanNya.
Kita semua
sesungguhnya adalah makhluk spiritual yang menjalani amanah sebagai manusia
ketimbang manusia yang menjalani tugas spiritual dalam kehidupan ini. Disana
atau disini, saat ini ataupun nanti – kita selalu berhadapan dengan Tuhan
(Sutradara Agung permainan keabadian yang disebut kehidupan ini). Segala
peristiwa adalah media pembelajaran dan pemberdayaan kebijakanNya untuk
kebajikan kita. Teruslah memberdaya diri, janganlah terperdaya apalagi berusaha
memperdayai. (QS 59: 18 – 20). Jadilah tinggi namun jangan merendahkan. Siapkan
diri dulu semoga garisNya layak diberikan.
Salam
Pencerahan 2 jari – semoga pak Jokowi (tidak salah) mengerti.
QS 20 Thoha: 25 – 28 =
Qoola : Robbisy syrohlii shodrii ; wa yassirlii -amrii ; wahlul ‘uqdata(n/m) mi(n/l) lisaani ; yafqohuu qoulii (25. berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku 26. dan mudahkanlah untukku urusanku, 27. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, 28. supaya mereka mengerti perkataanku,)
Do’a
ini konon berasal dari ibunda Pak Jokowi yang secara bijaksana mengharapkan
Bapak untuk tetap tawadhu berdo’a kepada Tuhan kala menjalani debat pilpres ke-dua
bukan hanya untuk kelancaran ‘pemenangan’ belaka namun juga memohon keberkahan
di hadapanNya juga. Sedangkan QS Thoha : 44 adalah Firman Tuhan kepada Musa
kala menghadapi/berbicara kepada Fir’aun:
QS 20 Thoha: 44 =
Wa qoulaa lahu qoulaa(n/l) layyinaa(n/l) la’allahu ~ yatadzakkaru
aw yakhsyaa (44. Maka berbicaralah kamu
berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat
atau takut".)
Ini
adalah ayat amar ma’ruf – nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah
kemungkaran) yang sejati. Ayat ini digunakan oleh seorang umaro (Al Makmun)
ketika menyadarkan seorang ulama yang selalu menghujatnya. Jadi jangan salah
mengerti (karena walau saya memang tidak semulia Musa namun sebagai pendukung
salahkah saya jika merasa perlu menjaga Haq anda untuk tidak menjadi takabur
walau secara umum/awam anda dapat dibenarkan untuk menggunakan hak tersebut.).
Sebagai sesama makhlukNya mementingkan kebenaran Ilahi (dengan tetap tawadhu di
hadapan Ilahi dan karenanya kita juga perlu untuk tetap santun di hadapan
manusia) adalah lebih utama daripada sekedar membenarkan kepentingan (termasuk
pembanggaan kemenangan) kita semata, kan ?
Saya tetap menerima kecaman dari rekan pendukung lainnya saat itu dan saya merasa bersyukur kala kemudian
ternyata di media sosial internet akhirnya saya juga menemukan banyak rekan
pendukung yang walau tetap istiqomah mendukung anda namun tetap bersedia
dan berusaha untuk kritis menjaga
keberkahan kepemimpinan nasional bapak di hadapanNya jika terpilih kelak.
Dengan tidak membabi-buta membela kepentingan diri semata (apalagi dengan cara
mencela lainnya) setidak-tidaknya kami tidak akan melakukan banyak penzaliman
yang akan memperdaya kita semua (diri kami sendiri, diri bapak dan diri fihak
lainnya serta terutama bangsa dan Negara ini kelak).
QS 59 Al
Hasyr = 18 – 20: Ini
adalah rangkaian ayat muhasabah
& mujahadah
18) Yaa
ayyuhalladziina aamanut taqullooha. wal tanzhur nafsum maa qoddamat
lighod(in); wat taqullooha inallooha khobirun bimaa ta’maluun; 19) wa laa takuunu kalladziina nasullooha
fa ansahum anfusahum ~ ulaa-ika humul faasiquun; 20) Laa yastawi ashabun
naari wa ashabul jannati/h ~ Ashabul jannati humul faa-izuun.
18)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. ; 19) Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. ; 20) Tiada sama
penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni
surga itulah orang-orang yang beruntung.
Tentang Tadabur ayat =
muhasabah & mujahadah
[59.18]
Kehidupan saat ini hanyalah satu titik dari perjalanan keabadian diri.
“Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an
u’rafa fa khalaqtul khalqa fabi ‘arafu-ni,” (= “Aku pada mulanya adalah
harta tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan
melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”, Hadits Qudsi ?). Tuhan adalah Dzat
Mutlak yang keluhuranNya (kuasa dan kasih) melingkupi apapun juga namun
kekudusan (wujud dan DiriNya) tak terjangkau siapapun juga. Tuhan adalah
wajibul wujud (Dzat dengan keberadaan mutlak) sedangkan makhluk hanyalah
mumkimul wujud (Sesuatu yang keberadaannya sekedar diadakan atau bahkan bisa
saja ditiadakan olehNya). Kita sesungguhnya hanyalah media fana yang sekedar
memantulkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dimana sekedar merealisasi
fitrah kerobbanian diri (mewujudkan kesadaran akan kewajaran tersebut) dengan
tanpa terlalu mengindentifikasi untuk ‘memancarkan’ ananiyah nafsani maupun
berdefisiensi ‘mengharuskan’ kepamrihan duniawi. Ketawadhuan dan keikhlasan
memang suatu kelayakan untuk merealisasikan rasa Syukur akan kesempatan untuk
keberadaan dengan rasa Shabar (istiqomah – mantap mensikapi, menjalani dan
mengatasi permasalahan yang ada sebagai sarana tarbiyah pemberdayaan diri) .
Laa Ilaaha
Illallooh – Huwa Maujud. (Al Kholq)
Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya)
Maha Ada. Dialah Hyang Maha Wujud dari segala keberadaan; Hyang Maha Kuasa
pada setiap kenyataan ; Hyang Maha Kasih dalam semua kebenaran. BagiNya segala
wujud keberadaan, ibadah persembahan dan tujuan pengarahan.
Laa ilaaha illalloohu – Huwa Ma’buud. (Al
Haqq). Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya
layak dan harus) disembah. Segala tindak peribadahan (zahiriah/batiniah)
hanya dipersembahkan dari, oleh, dan untuk kemuliaanNya. Para arif yang sadar
keberadaan dirinya sebagai pengembara keabadian sekaligus pemberdaya kehidupan
senantiasa memandang baik disini maupun disana, sekarang ataupun nanti dia
selalu berhadapan dengan kemuliaan, pengawasan dan perawatanNya. Dunia dan akherat
hanyalah dimensi yang terpilah bukan esensi yang terpisah. Segala yang
dilakukan (baik batiniah, lisan atau tindakan) akan selalu dinilai dan kembali
kepadanya juga /entah disini atau disana, entah saat ini maupun nanti./
Laa ilaaha illalloohu – Huwa Maqshud. (al
Baq) Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya
layak dan harus) dituju. Segala tindak peribadahan (zahiriah/batiniah)
hendaklah dilaksanakan secara lillaah, billah dan fillah. Lillaah maksudnya hanya untuk Allaah
(Rodhiyah = keikhlasan diri). Segala amalan hendaknya dilakukan hanya untuk
mencari keridhoan Allah. Hindari dari kefasikan untuk men-dua-kanNya dengan
kepamrihan nafsaniyah untuk bermegahan di majlis dunia yang fana. Ilallooh
(untuk Allooh) bukan ilayya (untuk kebanggaanku), ilainaa (untuk kepentingan
golongan kami), ilaihim (untuk kepentingan mereka). Billaah
maksudnya hanya dengan Allaah (Mardiyah = Allloh meridhoi). Terhindar dari kefasikan untuk men-dua-kanNya dengan
kebanggaan nafsaniyah diri untuk bermegahan di majlis dunia yang fana. Hanya
dengan karunia panduan hidayah dan bantuan segala amalan usaha kita bisa
terjadi. Seandainya Allaah tidak memberikan anugerah kehidupan, inayah
kesempatan dan hidayah kesadaran mustahil amalan bisa dilakukan. Fillaah
maksudnya dalam Allaah (Kamilah ?= ketawadhuan sejati merasa sekedar media
biasa bukan sebagai figure sempurna?). Terhindar dari kefasikan akan
kemelekatan diri. Tanpa kita sekalipun Tuhan sesungguhnya mampu
merealisasikannya melalui media lain yang dikehendakiNya. Kesadaran Realisasi
reflektif (perwujudan – sekedar media pemantulan X pancaran hakiki) bukan
identifikasi ananiyah (kebanggaan pengakuan untuk pembenaran) apalagi
defisiensi duniawi (kepamrihan perolehan dalam kepentingan).
[59.19]
Jadilah pribadi 10 tidak sekedar 01 apalagi 0 belaka.
Dr. Ali Shariati melambangkan 1 adalah
Hyang Esa, 0 adalah makhlukNya. Meminjam istilah beliau ; berikut adalah paradigma kerobbanian yang menjadi orientasi awal bagi ketawaddhuan
yang juga akan kembali menjadi realisasi akhir bagi kecerdasan manusia.
(*) = 1 tetap bernilai walau 0 tidak ada. 0 tidak bernilai jika 1 tidak ada.
Maksudnya = Tuhan tetap ada walaupun makhluk ada ataupun tidak ada. Tuhan
(kholik) adalah wajibul wujud yang keberadaanNya mutlak adanya ; selain itu
(makhluk) adalah mumkimul wujud yang keberadaannya relatif adanya ~ bisa ada,
bisa juga tidak ada ~ terserah dan berserah kepada kehendakNya. Tanpa Tuhan,
segalanya tidak akan pernah ada. Tanpa segalanya sekalipun, Tuhan tetap ada.
Dia adalah Hakekat yang merupakan penyebab dan kembali segala yang
ada (baca: diadakan untuk mengada jadi tidak perlu terlalu meng-ada ada). (*) =
1 dibagi 0 tak terhingga ; 0 dibagi 1 tak berharga. Maksudnya = Pribadi yang
berkarakter kuat dan cerdas adalah pribadi dengan kekuatan dan kecerdasan yang
tumbuh berkembang karena ketawadhuan bukan dengan ketakaburan. 0 dibagi 1
tetaplah 0 – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri dengan ketakaburan.
(Lemah dan rapuh karena sesungguhnya :Tiada daya upaya tanpa izinNya.) Namun
… 1 dibagi 0 adalah tak terhingga – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri
karena ketawaddhuan. (Senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keridhoan dan
petunjukNya). (*) = 1 di depan 0 jauh bernilai dibanding 0 di depan 1 .
Maksudnya = Jadilah pribadi 10; Pribadi yang mengedepankan Tuhannya diatas
segalanya (termasuk dirinya sendiri). 0 didepan 1 dibelakang hanyalah bernilai
1 (satu) – ini gambaran pribadi yang mengedepankan selainNya pada kehidupan.
Amaliah menjadi tak sempurna karena syirik, pribadi tidak konsisten karena
terombang-ambing kepentingan duniawi/ kebanggaan berpribadi. Bahkan jika pada
akhirnya yang satu (1) itu menjadi hilang, maka seluruh kehidupan kita tinggal
0 (baca: nol besar).
[59.20]
Segalanya berdampak (Ihsan hadratullooh disini/disana; saat ini/nanti; ladang
amal / panen akibat).
Dalam pemberdayaannya (kesadaran,
kecakapan, kemapanan dan ketaqwaan), sejumlah manusia mungkin saja mampu
berkembang mendahului lainnya bukan hanya secara intelek (yang popular
didewakan saat ini), namun juga intuisi (sayang sudah agak diabaikan sekarang)
dan insight (sudah langka dan terlupakan?). 9 kecerdasan mungkin tercapai ( 3
tataran intelek =1. AQ /Adversity Quotient - ketahanan berjuang/, 2. EQ
/Emotional Quotient - keluwesan interaksi/, 3. IQ /Intelligence Quotient -
kepandaian kognitif/; 3 wawasan intuisi = 4. ISQ /Intelligence Spritual
Quotient - keterarahan sati/, 5. ESQ /Emotional Spiritual Quotient - keihsanan
ummi/, 6. ASQ /Adversity Spiritual Quotient - kemantapan yogi/; 3
penembusan insight = 7. ADQ /Adversity Divine Quotient- mukasyafah/, 8. EDQ
/Emotional Divine Quotient - Mahabatullooh/, 9. IDQ /Intelligence Divine
Quotient - Ma'rifatullooh/) namun demikian jika tidak dibarengi dengan
orientasi kesadaran 10 maka itu semua tanpa makna. Realisasi Kecerdasan tingkat
10 (baca: sepuluh) atau orientasi kesadaran 10 (baca: satu-nol) ini mungkin
yang dimaksudkan sebagai insan kamil, homo novus (New Man) atau apapun
istilahnya – suatu pencapaian kesempurnaan manusia dalam keterbatasannya. Namun
sebagaimana proses pemberdayaan dan orientasi ketawaddhuan sebelumnya inipun
harus dianggap hanya sebagai proses berkelanjutan bukan maqom penghentian.
Inilah perbedaan yang mendasar antara kesejatian pencerahan bijak seorang
panentheist, keimanan sejati para monotheist atau bisa jadi pencarian murni
kaum heretis dengan kesemuan ‘pencerahan’ pantheist, ‘wawasan’ agnostic, maupun
‘pandangan’ atheist. Keberkahan dan pemberkahan hanyalah dari, oleh, untuk dan
kembali kepadaNya. Realisasi kebenaran bukan identifikasi pembenaran. Dalam
keikhlasan bukan dengan kepamrihan. Senantiasa memberdaya diri secara
berkelanjutan dalam JalanNya (sesuai fitrah yang ditentukanNya) dan tidak
terperdaya setinggi apapun perolehan yang dicapainya (menurut anggapan kerdil
terhadap diri sendiri maupun pengakuan semu dari orang lain). Hanya mereka yang
telah menghayati surga di hatinyalah (karena hidayah kuasa kasih yang terpancar
dari wujudNya telah melingkup hati hambanya - bukan sebaliknya !?) yang
kemudian akan menghadirkan surga di dunia ini (memberkahi kehidupan dengan
kuasa kesejahteraan dalam kebersahajaan kasih dan tidak melakukan pembenaran
akan pengrusakan dan bermegah dengan kesombongan apapun bentuknya) sehingga
layak mendapatkan surga di sisiNya kelak.
Pada hakekatnya sesungguhnya kita bukanlah manusia yang menjalani
spiritualitas tetapi sesungguhnya kita adalah makhluk spiritual yang menjalani
tugas sebagai manusia. Hidup ini hanyalah
satu titik dari sebuah garis perjalanan keabadian diri. Di dalamnya kita
berperan baik sebagai viator mundi (Peziarah Dunia : Hamba Allooh) yang
memberdayakan individualitas diri dan sekaligus juga sebagai faber mundi
(Pengelola Dunia: Khalifatulloh) yang memberdayakan universalitas diri. Amanah
sebagai Pengelola bukan hadiah untuk berkuasa - karena hanya Dialah Penguasa
Pemimpin dan Penentu segalanya. Peziarah bukan penetap - karena kita tak abadi
di sini ; suatu saat (tepatnya : setiap saat karena baik disini/disana, saat
ini/nanti kita selalu berhadapan denganNya. Dalam konteks keabadian = kehidupan
dunia dan akherat sesungguhnya hanyalah esensi yang terpilah dan tidaklah terpisah – pen.) Kta harus kembali (tepatnya:
berada) ke hadapanNya dengan tanggung
jawab kita atas segala pembelajaran dan perbuatan yang kita lakukan di dunia
ini. Tanah (baca: jasad) memang kelak akan kembali ke bumi (baca: mayat)
sebagaimana harusnya namun demikian cahaya (baca: ruh atau sekedar jiwa
?) sebagaimana layaknya kembali (untuk selalu menghadap) ke Sumbernya
(Tuhan).
Jadi,
sebagai pribadi yang tetap memandang keberadaan, kebenaran dan kebajikan
sesungguhnya hanyalah sebagai pantulan Realitas kemuliaan Tuhan pada
setiap/sesuatu media fenomena kenyataan yang ada, saya memang tidak haq
menuntut kesempurnaan pada seseorang (bukan hanya untuk orang lain namun juga
bagi diri sendiri) namun hanya mengharapkan kesederhanaan (bukankah: “inginnya
sederhana dalam kesederhanaan” adalah keinginan tulus dari bapak dalam menempuh
kehidupan ini?). Di sini ijinkan saya menggambarkan pandangan saya tentang
kesederhanaan yang saya maksudkan bukan dalam kapasitas saya sebagai pendukung
yang Insya Allooh akan tetap istiqomah memilih Pak Jokowi dan Pak JK untuk kepemimpinan
nasional nanti (tepatnya : garis kebenaranNya yang mungkin saja masih terhijab
dan akan tersibak dalam proses kesejarahan nanti) tetapi sebagai pribadi sesama
makhlukNya yang menjalani permainan keabadianNya yang disebut kehidupan ini.
1. Sederhana adalah merakyat (Kesamaan diri di hadapan
Ilahi)
Saya
salut dengan pandangan autentik Pak Jokowi kala menyatakan ‘Demokrasi adalah
mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya’. Itu adalah bahasa ‘sederhana’
dari pemimpin yang sederhana untuk merakyat
(jika tidak ingin dikatakan bijaksana karena di luar jangkauan intelektualitas
para akademisi apalagi ‘empati’ para pendengki). Ini adalah bahasa hati nurani
bukan paradigma logika akal apalagi sekedar komentar akal-akalan. Blusukan anda
(pastilah) bukanlah pencitraan karena anda memandang rakyat bukan sebagai
‘obyek’ tetapi ‘subyek’. Bukanlah kepentingan sesaat untuk memikat tetapi
keikhlasan murni untuk berbuat – sebagaimana Rosulullooh SAW pernah berkata: At
taqwaa hahunaa – wa yusyiidru ilaa shodrihi tsalaatsa
marrotin (Taqwa itu disini - seraya menunjuk
dadanya sebanyak tiga kali). Merakyat (antara lain dengan blusukan) adalah
aktualisasi universalitas diri menjalani hidayah Ilahi /ketaqwaan/ sebagai
jalan bagi setiap pemimpin (bagi dirinya sendiri dan orang lain) untuk memberdaya hati agar senantiasa hidup tidak
sakit apalagi mati. Ini adalah kesederhanaan yang alami bukanlah metode
pendekatan ilmiah apalagi trick pencitraan ananiyah. Keautentikan itulah
pembeda utama dengan lainnya. Siapapun mungkin akan bisa meniru anda dengan
blusukan tetapi rakyat akan merasakan perbedaan yang nyata (walau tak
terungkap) jika itu dilakukan dengan kepalsuan bukan dengan ketulusan. Kalaupun
itu kemudian disadari sebagai suatu ‘keharusan’, perlu pembiasaan agar terbiasa
menjadi ‘keterbiasaan’ nantinya.
Saya
pernah menuliskan tentang kesederhanaan ini kala bapak kampanye pilpres dengan
gaya blusukan pada sebuah media sosial internet (namun tampaknya saya harus
arif menerima jika mereka tidak menganggapnya sebagai ‘layak’ adanya dan
menghapusnya.) Saya katakan sebagai berikut :
Tetap
ingin sederhana dalam kesederhanaan, ya pak ?
Nabi
SAW meneladankan kita kala bertemu dengan umatnya : "seorang hamba yang
faqir (bagi nabi : 'orang yang menyadari tidak memiliki apa-apa-. karena
bukankah segalanya termasuk diri kita ini sesungguhnya milikNya yang hanya ada
karena diadakan olehNya) bertemu dengan saudaranya yang faqir (bagi umat sering
dimaknai sebagai wong cilik, rakyat jelata, dhuafa yang terus berkarya)."
Tetap
tawadhu, merakyat, ya pak. Jelas akan ada perbedaan (walau samar di hadapan
publik karena keterbatasan pengamatan indrawi namun sangat jelas bagi Tuhan
untuk melihat yang tersirat di dalam hati) antara ketulusan dengan kepalsuan,
keikhlasan dengan pendustaan dan keberfihakan dengan pencitraan. Kata kuncinya
sederhana namun sulit tetapi harus dipertahankan sebagai orang yang mengimani
Allooh SWT dan kebenaranNya yaitu istiqomah (seperti yang telah bapak lakukan
selama ini dan dan yang tetap harus dilakukan seterusnya nanti).
Benar
dan tidak salah untuk keberkahan dihadapanNya bagi seorang pemimpin (bagi diri
sendiri dan orang lain) untuk tetap jujur, bersih, sederhana dan merakyat.
Tidak masalah jika Tuhan memandang baik bagiNya untuk kita : menang atau kalah.
Ini hanya permainan keabadianNya yang disebut kehidupan, pak.
Selamat
memberdaya diri …. Jangan terperdaya, ya.
Kesederhanaan (tawadhu) sesungguhnya adalah bahasa dharma di
setiap agama dan ethika dunia – kesederhanaan senantiasa lahir dari kearifan
hati di kedalaman bukan sekedar hadir dari kenaifan hati di permukaan (nantinya
akan terbimbing olehNya tidak hanya fundamentally authentic-monotheistic namun
akhirnya akan juga universally holistic-panentheistic. So, Jalanilah ilmu yang
difahami, maka Tuhan akan melimpahkan ilmu yang belum difahami jika wadah telah
siap dan saatnya telah tepat.).
- Kristen menyatakan :’Barang siapa meninggikan diri maka dia akan
direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri dia akan ditinggikan.”( Mat: 23
– 12) karena ‘saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang,
bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan
kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh
dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan
kebenaran.’(Yoh 4 : 23 – 24).
- Islam menyatakan: At tawadhu’u laa yaziidu illaa rif’ata(n)
; fa tawadho’uu yarfa’kumulloohu. Wal’afuu laa yaziidul ‘abdan illaa ‘izza ;
fa’fuu yu’izzakumulloohu. Wash shodaqotu laa yaziidul maala illaa katsrotan –
fa tashodaqoo yarhamkumullooh (HR Dailami & Ashfihani : Rendah hati tidak menambah seseorang
melainkan ketinggian; maka merendahlah maka Allooh akan meninggikanmu. Dan
pengampunan tidak menambah seseorang melainkan kemuliaan; maka berilah
pengampunan maka Allooh akan memuliakanmu. Dan bersedekah tidak menambah
seseorang melainkan kelimpahan; maka bersedekahlah maka Allooh akan melimpahkan
kasih sayang kepadamu.)
- Hindu juga menyatakan (maaf saya sederhanakan bahasa mistiknya): Tat Twam Asi (kau adalah aku) karena Aum Sarvam kalv idam Brahman (Esalah –
segalanya yang berada dalam kesamaan di hadapan Tuhan).
- Buddha menyatakan: Dharma
Vihara (menjadikan diri sebagai vihara/rumah bagi dharma/kebenaran dalam
memberdayakan cinta kasih /metta dengan bersifat karuna
– ikut bahagia dalam suka cita orang lain dan muditta – ikut merasakan
kesedihan dalam duka cita sesamanya namun tetap dalam upekkha/ keseimbangan
batin kala mengalami, mengamati dan mengatasinya).
Dharma apapun juga (Islam,
Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dll) sesungguhnya adalah kemurnian aktualisasi
nilai bukanlah ‘sekedar’ kefasikan identifikasi label, defisiensi kepentingan
apalagi eksploitasi pembenaran. Kesederhanaan adalah aktualisasi keikhlasan
amaliah tindakan untuk, dengan dan dalam Tuhan (Lillaah, billaah dan fillaah)
dan bukan kedangkalan semu akan pembenaran/pembanggaan kepentingan ‘aku’,
‘kami’ atau ‘mereka’ belaka (ilayyaa, ilaina ataupun ilaihim).
Tanda
zaman memang sudah semakin terbuka menampakkan kehendakNya. Apa yang menjadi
kehendakNya akan terjadi walaupun manusia berusaha keras untuk menghalangi.
Hanya di tanah yang subur benih yang baik akan tumbuh dan berkembang. Pilpres
adalah media demokrasi bagi rakyat Indonesia yang bukan hanya sekedar
menghadirkan pemenang untuk berkuasa (dengan kebanggaan) tetapi seharusnya juga
melahirkan negarawan untuk memimpin (dengan keteladanan). Dengan pandangan yang
(semoga masih terasa) sederhana ini saya berharap semua kandidat akan bisa memandang
keseluruhan dalam keseimbangan akan universalitas diri yang lebih arif dan luas
sehingga benih kenegarawanan sebagai pemimpin nasional akan tumbuh berkembang
dengan tepat dan terarah dalam bimbinganNya. Anda sekalian adalah putera-putera
terbaik bangsa ini yang diharapkan akan saling asah, asih dan asuh dalam satu
episode permainan keabadianNya yang disebut kehidupan dalam ‘kewajaran’ untuk
pembelajaran (idealnya kesadaran untuk saling memberdayakan) demokrasi bangsa
ini. Demi kebaikan bersama saat ini (pada pilpres 2014) dan perbaikan sesama
nantinya (hingga pilpres 2019), keberkahan persaudaraan adalah lebih utama
daripada sekedar kemenangan persaingan. Keberdayaan bersama bangsa besar ini
hendaknya mengatasi pemenangan kepentingan sefihak saja nantinya. Benar dan
tidak salah – tidak masalah : menang atau kalah (karena itu adalah Haq Mutlak
Tuhan melalui hak seluruh rakyat yang menentukannya). Segalanya akan baik
adanya jika disikapi secara arif dengan keikhlasan untuk menerima hikmah
pembelajaran Ilahi dan/atau dijalani secara baik dengan keistiqomahan dalam
menjalani amanah pemberdayaan Ilahi. Tuhan bisa saja memberikan kebajikan
kepada Jokowi /JK agar bersegera memberdaya bangsa dalam memperbaiki dan
membawa kemajuan negeri ini namun Dia juga bisa saja memberikan kebijakan
dengan memberikan kesempatan kepada Prabowo/Hatta untuk keamanan negeri ini dan
bagi kebaikan semuanya. Singkatnya, sederhana (dalam paradigma merakyat ini)
adalah seperti cermin empati universal – memandang orang lain sebagai diri kita
sendiri dalam peran/garis keberadaan yang berbeda. Bapak perlu menghargai
keberadaan pak Prabowo dengan memandang kesemuanya secara universal tidak
sekedar eksistensial apalagi hanya secara individual. Fahamilah dilemma
kesulitan mereka dalam menjalani peran DharmaNya kala berhadapan dengan anda.
Seandainya beliau tidak berperan sebagai kandidat lainnya pastilah pak Prabowo
akan mendukung anda seperti sebelumnya.
Hargailah Pak Prabowo (juga pak Mahfud dan lainnya) perlu menjalani
dharmaNya ini sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan bagi bapak
kelak. Bapak perlu menghormati (atau
minimal memaklumi) pak Prabowo yang berjiwa besar dengan bersedia melindungi
kecemasan pembenaran ambisi transaksional dan menampung semunya “marwah”
kepentingan koalisinya. Pada kedua belah fihak
ada kebaikan yang berbeda. Permasalahannya adalah kesiapan. Bersegera
atau menunda untuk melakukan perbaikan. Sebagaimana kritik kami yang telah dan
akan selalu berusaha untuk tetap istiqomah mementingkan kebenaran Ilahi dengan
tidak selalu membenarkan kepentingan ‘kita’ (dan juga ‘mereka’), panah serangan
fihak lain sesungguhnya adalah panah kehormatan yang akan meruntuhkan dinding
pembanggaan diri agar dari penghampaan diri yang benar (Laa ilaaha ilallooh –
huwa maujud, ma’bud, maqshud) lahirlah seorang negarawan baru yang dengan
tulusnya keikhlasan ilallooh (lillaah, billaah, fiillaah) bersegera mengayomi
bangsa dan bersama memperbaiki negeri ini. Ini adalah media (pagar/panah) kasih
bukan untuk menghalangi keinginan dari sejarah tetapi melindungi keberkahan
pada JalanNya. Layakkan diri untuk itu karena sesungguhnya dalam pandangan
Tuhan bersegera untuk memberdaya diri adalah lebih utama daripada menundanya
untuk kembali memperdaya diri. Demi kebaikan sesama dan perbaikan bersama,
cegahlah kefasikan ini secara bajik dan bijak di hadapan Tuhan.
Kesederhanaan
adalah bahasa universalitas diri. Walau dengan segala kelebihan apapun kita
perlu untuk tetap memandang setara terhadap lainnya (Istilah orang Jawa =
Mantep tanpo Anggep). Menghargai kelebihan orang lain tanpa mendengki dan
menerima kekurangan orang lain tanpa merendahkan. Universalitas diri untuk tetap wajar inklusif tidak
mencitrakan eksklusif (Genah tetapi
tetap Nglumrah, sadar istiqomah sebagai Ahlus Sunnah namun juga tetap wajar Wal
Jamaah membaur, dlsb). Tasamuh (toleran) menerima perbedaan
(keberadaan/pandangan) dengan tanpa fasik menzalimi lainnya dan tetap tawadhu
(rendah hati) di hadapan Ilahi dalam menghadapi/mengasihi sesama. Kesederhanaan
adalah sikap authentic (kewajaran alamiah karakteristik) yang lahir dari sifat
holistic (kesadaran tauhid panentheistik).
2. Sederhana adalah Jujur (Keihsanan diri di hadapan Ilahi)
Ada
sebuah kisah/hikmah dharma tentang kejujuran pada zaman Rosulullooh SAW tentang
seorang pemuda yang semula berandalan dan kemudian juga seorang anak gembala.
(Maaf…, ndongeng dulu, pak).
Seorang
pemuda datang menghadap Nabi dan menyatakan maksudnya untuk menganut risalah
agama yang di bawa beliau namun dia masih belum bisa meninggalkan kebiasaan
buruknya. Walaupun sejumlah sahabat semula menentang kelancangan seorang pemuda
untuk menganut agama Islam yang dibawa beliau dikarenakan tabiat/akhlaknya yang
buruk (sebagaimana yang ‘jujur’ dikatakannya), Nabi Muhammad SAW secara terbuka
menerima syahadat ke-‘Islam’-an pemuda tersebut. Beliau katakan : “ Saya salut
dengan kejujuranmu. Baiklah, cukuplah kejujuran itu (sementara ini) menjadi
awal dari keIslamanmu mulai saat ini.”
Pandangan intuitif kebijakan Nabi akan kaidah hidayah Ilahiah pada
pemuda tersebut (yang kemudian menjadi methodology sufisme: takhali – tahali –
tajali) kemudian mulai bekerja. Hati ibarat antenna penerima dan pemancar –
jika satu sifat baik (baca : kejujuran) tetap mantap dilakukan maka sifat
kebaikan yang lain akan diterimanya juga dan kemudian terpantulkan secara
adaptif dan authentic terbiasakan demikian pula sebaliknya. Walaupun baru pada
tahap kepentingan dan pembanggaan ego (masih naïf), pemuda tersebut akhirnya
menghindari diri dari keberandalannya setiap saat dia akan melakukannya dan
bahkan kemudian menjalani ibadah setiap saat dia menyaksikan para saudara
muslim yang lainnya melakukannya. Pemuda tersebut akhirnya menjadi Muslim yang
‘baik’ sebagaimana para muslim kebanyakan lainnya karena cemas akan teguran
dari Nabi SAW jika dia tetap melakukan kesalahan dan harapan akan pujian dari
Nabi SAW jika dia dapat menjalani kebaikan.
Seandainya
saja saya mengharapkan anda hanya sebagai pemimpin bagi diri anda sendiri saja
dan bukan sebagai Bapak Bangsa ini nantinya (peran sejati aktualiser bukan
sekedar jabatan politis structural sebagai Kepala Negara saja) maka mungkin
saya tidak akan terlalu merisaukan hal ini dan segera menyudahi tuntunan
(tuntutan?) tentang makna kejujuran hingga di sini. Saya cukup memuji (semoga
tidak perlu memuja) anda sebagaimana lainnya dan menjadikan anda merasa
nyaman terbuai dengan naifnya kebanggaan
dan semunya kepentingan diri. Namun demikian saya merasa tidak adil sebagai
seorang pendukung jika tidak memberikan kebenaran yang lebih dalam lagi untuk
tetap mengharapkan dan mengingatkan akan pemberdayaan bagi bapak agar meningkat
lebih baik lagi sehingga ada baiknya anda juga menyimak kisah kelanjutan
berikut ini. Katakanlah ini sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang dimaksudkan
sebagai pencerahan dan sama sekali bukan untuk penyesatan. Simaklah karena ini
Haq untuk mementingkan kebenaran (walaupun anda tetap punya hak untuk
mengabaikannya jika sekedar membenarkan kepentingan). Maaf, jika kisah ini
walau tetap tidak saya ubah namun agak saya improvisasi agar penghayatan
hikmahnya lebih bisa ‘mengena’. Lanjut …
“Dengan
kejujurannya tersebut pemuda tersebut akhirnya menjadi muslim yang baik dan
disukai saudara muslim lainnya.”, kata Nabi SAW. Namun demikian dua sahabat
Nabi (ada sebagian riwayat menyebutkan bahwa mereka adalah Abu Bakar Shidiq dan
Umar b Khatab) walau cukup tanggap akan hal itu namun tampak kurang puas dengan
pujian yang terkesan cukup ‘menghibur’ tersebut dan menanyakan kepada Nabi SAW,
“kami menyaksikan dan membuktikannya. Namun demikian apakah kejujuran itulah
yang anda maksudkan?.” Nabi SAW bersabda,” Segalanya ada waktunya. Setiap
pemberdayaan perlu proses. Walau kejujuran itu tidaklah setepat yang saya
maksudkan, namun setidak-tidaknya pemuda tersebut telah cukup menjadi muslim yang
baik saat ini dan Insya Allooh dengan hidayahNya dia akan menjadi lebih baik
lagi nantinya.” Nabi SAW kemudian menyarankan ke-2 sahabat tersebut untuk
‘belajar’ langsung akan makna kejujuran yang sebenarnya dia maksudkan melalui …
seorang anak gembala. (Kedewasaan bukanlah masalah usia tetapi masalah jiwa
demikian juga dengan kejujuran, keamanahan dan ketaqwaan).
Singkat
cerita, pergilah ke-dua sahabat tersebut ke tempat yang telah diberitahu nabi
keberadaan anak gembala yang dimaksud. Anak gembala tersebut memang sederhana
tampak tidak istimewa sebagaimana juga penggembala lainnya namun demikian
banyak para pemilik domba lebih mempercayakan ternak mereka kepadanya. Walaupun
semula agak ragu akan petunjuk Nabi namun mereka berdua kemudian menguji
kejujuran anak gembala tersebut.
“Nak, aku ingin membeli ternak gembalaanmu
ini. Bisakah kau menjualnya satu untuk kami ?”, Tanya seorang sahabat menguji
anak gembala tersebut. Dengan polos anak gembala tersebut segera menjawab, : “
Maaf, tuan. Semua ternak gembalaan ini bukanlah milik saya. Orang lain
mempercayakan saya untuk menggembalakan ternak milik mereka.” Ujian pertama ini
berkaitan dengan legalitas kepemilikan (formal perdata). Kejujuran anak ini
telah menjaganya dengan mampu memilah akan hak kepemilikan secara hukum – suatu
pengakuan legalitas formal dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa adanya hukum
stabilitas ketertiban dan keteraturan dalam tatanan kebersamaan akan sulit
diwujudkan.
“Nak,
jika demikian bagaimana jika aku membeli saja satu ternak gembalaanmu ini
dengan harga yang lebih tinggi. Dengan cara demikian kau akan mendapatkan juga
keuntungan jika harga jualnya diminta oleh pemilik gembalaanmu ini ?”, Tanya
sahabat yang lain menguji kembali anak gembala tersebut. Walau agak kesal namun
dengan tetap santun anak gembala tersebut kembali menjawab,:“ Maaf,tuan.
Pemilik ternak ini sudah mempercayakan hewannya kepada saya untuk saya
gembalakan. Bukanlah tindakan yang baik jika saya harus melanggar amanah
kepercayaannya kepada saya.” Jawaban ke-dua dari anak ini meningkat bukan hanya
sebatas legalitas hukum tetapi sudah menyangkut moralitas etika – suatu
tindakan ethika actual dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum tanpa ethika sangat
rentan dengan penyelewengan (mungkin itu sebabnya terkadang sangat sulit bagi
rakyat kecil mencari keadilan di lembaga pengadilan dikarenakan ketidak-mampuan
mereka dalam menghadapi celah pasal hukum positif yang ada disamping
ketidak-sanggupan mereka kala harus melakukan ‘pendekatan taktis’ lainnya).
Akhirnya
ke-dua sahabat itupun maju bersama dan membujuk anak tersebut . “ Nak,
sudahlah. Disini hanya ada kita bertiga. Kau bisa mengatakan bahwa satu ternak
gembalaanmu telah diterkam serigala. Maka bukankah kita semua akan mendapatkan
hasil yang sepadan. Kami mendapat ternak tersebut. Sedangkan kau mendapat laba
yang besar. Sedangkan pemilik ternak ini pun akan memaklumi juga dan akan
menerima harga yang pantas untuk ternak tersebut.” Mendengar argumentasi ini si
anak gembala ini tak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya, dan dengan gusar
diapun berkata dengan mantap. Satu perkataan dimana dunia dan seisinya
sekalipun tidak akan mampu menandingi kebenarannya.. “Fa inallooh, yaa sayiid ….. Lantas dimanakah Tuhan, ya tuan. Di
sini tidak hanya kita bertiga. Tetapi Tuhan Yang Maha Jeli tengah mengamati
kita dengan seksama apa yang kita bicarakan dan bahkan terhadap apa yang batin
tuan rencanakan sejak tadi.”
Subhanallooh … Maha Suci Allooh …. Ini adalah jawaban final dari
kejujuran yang Nabi SAW maksudkan. Kejujuran adalah keihsanan diri di hadapan
Ilahi. Bukan sekedar legalitas formal ataupun moralitas ethika saja namun
integritas ihsan. (Mal Ihsaanu? anta’budallooha ka-annaka tarrohu; fa in lam takun taroohu
–fa innahu yarooka. = Apakah Ihsan ?
Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”). Ihsan
adalah kejujuran tertinggi yang memungkinkan terjadinya keterarahan perjalanan
hidup dan sekaligus keberkahan pemberdayaan keabadiaan diri di hadapan Ilahi.
Jujur adalah Ihsan. Anda memandang segala sesuatunya (termasuk diri sendiri)
dalam perspektif ketauhidanNya. Sehingga terkadang kecerdasan yang lebih
tinggi/dalam/luas bisa saja dicapai (daya tanggap intuitif tidak sekedar daya
tangkap intelek … bahkan mungkin juga insight keberkahan ~ Walloohu a’lam bish
showabi). Ihsan adalah penghayatan keberadaan diri dalam pengawasan Allooh dan
sekaligus pengarahan keamanahan diri dalam perlindunganNya. Laa ilaaha
illallooh (huwa maujud, ma’bud, maqshud).
“Fa inallooh, yaa sayiid ?” ~ Itulah
juga alasan saya sesungguhnya mengapa saya terkadang merasa tidak perlu memuji
anda ketika anda ‘sukses’ (untuk tetap menjaga ketawadhuan bapak di hadapan
Ilahi) namun terkadang malah terpaksa
‘mencela’ anda jika anda khilaf (untuk tetap menjaga keistiqomahan bapak di
hadapanNya juga). Saya tidak ingin anda terperdaya dengan permainan
keabadianNya yang disebut kehidupan ini sebagaimana Allooh SWT yang
mengharamkan penzaliman atas makhlukNya dan antar makhlukNya. Hadits Nabi : Al haya-u minal iman (malu
adalah bagian dari iman) – Malu yang dimaksudkan beliau bukanlah sekedar
‘rikuh’ (atau ‘gengsi’ terhadap sesama makhlukNya ~ walaupun itu adalah Nabi
SAW) tetapi ‘risih’ (malu karena pada dasarnya kita selalu berhadapan dengan
Tuhan – Allooh SWT yang begitu jeli mengawasi setiap makhlukNya : bukan hanya
atas tindakan , ucapan yang tersurat/ tersirat
tetapi juga gerak/gerik pembenaran kepalsuan maksud hati .) Dengan sifat
kejujuran ihsan ini, maka keamanahan akan terjaga, keistiqomahan akan bisa berjalan
dan keikhlasan akan terwujud …… fa insya Allooh, keberkahan akan tercapai juga
( kesuksesan apapun juga pada dasarnya hanyalah pencapaian by product – dampak
samping dari perjalanan keberkahan tersebut adanya. Belajar dan kecerdasan,
bekerja dan kesejahteraan , berjuang dan keberhasilan adalah cara Robbani
penempuhan diri pada JalanNya dalam mencapai kelayakan dalam keberkahanNya
bukan hanya pada ketulusan niat awal saja namun juga dalam kebenaran cara
penempuhan hingga hasil akhir (sinkronisasi niat, cara, hasil dan dampak
sebagaimana disebutkan sebelumnya).
Itulah yang membedakan seorang pemberdaya dengan seorang yang
terperdaya.
3. Sederhana adalah Bersih (Keamanahan diri di hadapan
Ilahi)
Nabi
Muhammad SAW berkata: Alla
Kullukum roo’in. ~ wa kullukum mas-ulun
‘an ro’iyyatihi. ; Fal amiirul ladzii ‘alan naasi ro’in ‘alaihim ~ wa huwa
mas-ulu ‘anhum ; Wa rojulu ro’iin ‘alaa ahlil baitihii ~ wa huwa mas-ulu ‘anhum
; wal mar-atu ro’iyatun ‘alaa baitihi ~
wa hiya mas-ulu ‘anhum ; Wa ‘abdu roo-in ‘alaa maali sayyidihi ~ wa huwa
mas-ulu ‘anhum ; Fa kullukum roo’in. ~
wa kullukum mas-ulun ‘an ro’iyyatihi ( “Ketahuilah…Setiap dari kalian adalah pemimpin yang akan di
mintai pertanggung jawabannya, seorang imam adalah pemimpin bagi masyarakatnya
dan akan di mintai pertanggung jawabanya tentang kepimpinannya, seorang suami
adalah pemimpin bagi keluarga dan ia bertanggung jawab terhadap keluarganya,
seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya dan ia
bertanggung jawab terhadap mereka,seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta
tuannya dan ia bertanggung jawab terhadapnya, setiap kalian adalah pemimpin dan
tiap kalian mempunyai tanggung jawab terhadap yang di pimpinnya”. (HR. Abu
Daud). Dalam transendensi keberkahan,
setiap kepemimpinan termasuk kepemimpinan nasional pada hakekatnya adalah
seperti “sambatan” ketimbang suatu “jabatan”. Seseorang terkadang suatu saat
harus/perlu bersedia menjadi pemimpin bukan hanya bagi dirinya sendiri namun
juga bagi orang lainnya (jamaah, bangsa, dsb) karena suatu keadaan walau itu
sesungguhnya bukanlah obsesi keinginan untuk berbangga saja apalagi ambisi
kepentingannya untuk berkuasa atas lainnya. Suatu peran pengabdian bagi
kemanusiaan (baca : amanah rakyat) dan
sekaligus kerobbaniahan (baca : ihsan hadratullooh). Itu bukanlah sekedar
status kewenangan (apalagi kesewenangan) atas nama kekuasaan yang semu,
pembanggaan yang naïf dan kesempatan yang liar untuk pembenaran terhadap
penyelewengan yang mungkin sekali akan terjadi jika harkat kemanusiaan dilanggar
dan marwah kerobbaniahan tersesatkan.
Abu
Bakar berkata pada saat pidato politisnya sebagai kholifah yang pertama: Yaa
ayyuhannasu ~ innii qodwuliitu ‘alaikum ; wa lastu bi khoiri kum. Fa in ro-aitumuunii ‘alaa haqqin ~ fa
a’inuunii ; Wa in ro-aitumuunii ‘alaa baathilin~ fa saddiduuni. Athii’uunii ~ maa athoo’tullooha fiikum ; Faa
in ‘ashoituhu ~ fa laa thoo’ata lii ‘alaikum. Allaa inna aqwakum ‘indidh
dho’iifu ~ hatta aakhudzal haqqol lahu ; Wa ash’afakum ‘indil qowiyyu ~ hatta
aakhudzal haqqo minhu. (Wahai sekalian manusia ~ aku diangkat memimpin
kalian : tetapi aku bukanlah yang terbaik diantara kamu sekalian. Oleh karena
itu jika kalian dapati aku berada pada jalan yang lurus ~ maka dukunglah aku ;
Akan tetapi jika kalian dapati aku
berada pada jalan yang salah ~ maka
segeralah tegakkan aku dalam kebenaranan.
Taatilah aku ~ selama aku taat kepada Allooh dalam urusan kalian ;
Tetapi jika aku mendurhakainya ~ maka tiadalah kewajiban kalian mentaatiku.
Ketahuilah , bahwa orang yang paling kuat diantara kalian adalah lemah di
sisiku ~ dikarenakan haknya akan aku ambilkan dari yang kuat. Dan bahwa orang
yang paling lemah diantara kalian adalah kuat di sisiku ~ dikarenakan haknya
akan aku ambilkan dari yang lemah.) Setidaknya ada tiga hal yang diutarakan
oleh Abu Bakar ra pada pidato tersebut. Pertama penyataan kerendah-hatian yang
menyatakan keterpilihan dia bukanlah
sebagai tanda kelebih-muliaan dirinya dari yang lain. Ini bukan hanya
ketawadhuan akan keberadaan dirinya dihadapan TuhanNya tetapi juga dihadapan
manusia (dengan menghindarkan diri dari ketakaburan terhadap Ilahi yang akan
mengesalkan orang lain juga terutama bagi mereka yang tidak mendapatkan
kesempatan akan ‘sambatan’ tersebut).
Ke-dua adalah pernyataan kesediaan diri yang menyatakan pendukungan diri
kepadanya hendaklah dilakukan dengan cara mementingkan kebenaran bukan sekedar
membenarkan kepentingan diri sendiri semata (sehingga memungkinkan amar ma’ruf
– nahi mungkar yang benar demi kebijakan bersama dan untuk kebajikan sesama).
Ini adalah keIstiqomahan diri untuk senantiasa terjaga dalam kebenaran Ilahi
dalam kepemimpinannya kelak (adalah kebodohan jika harus mengorbankan
perjalanan keabadian sejati diri dengan mempertaruhkannya dengan kepentingan
duniawi sesaat namun berdampak bukan hanya di dunia ini namun di akherat
nanti). Ke-tiga adalah penyataan keinginan diri atas visi kepemimpinan yang
mengharapkan kemaslahatan bersama bagi semuanya. “Yang kaya makin kaya – yang
miskin makin miskin” secara logis memang tidak bisa disalahkan secara alamiah.
Namun adalah suatu kebaikan (bukan kenaifan) jika kesenjangan ini perlu
diperbaiki sehingga walaupun ‘yang kaya masih bisa tetap menjadi lebih kaya ,
namun yang miskin sudah seharusnya juga
lebih didukung dalam peningkatan kualitas kesejahteraan hidupnya untuk
tidak lagi berada dalam kemiskinan namun segera menjadi kaya sehingga bisa juga
membantu yang lainnya dalam kebersamaan demi keberkahanNya.”
Sementara
Umar bin Khatab dalam tindakannya juga memberikan keteladanan dalam menjaga
amanah jabatan yang diembannya. Ada yang membandingkan gaya kepemimpinan bapak
yang suka blusukan (tuning frequency batiniah dengan rakyatnya) dan menjaga
diri untuk tidak koruptif (Umar mengistilahkan taqwa sebagai waro’
- kehati-hatian kala menjalani kehidupan) serta ketegasan
(berani mengambil keputusan sepanjang itu dipandang benar adanya, berani segera
bertindak untuk mewujudkannya dan berani menanggung resiko untuk apa yang telah
dilakukannya – walaupun harus dicela para pembelanya atau dimaki para pendengkinya).
Tidak masalah untuk yang pertama dan ke-dua, namun untuk ke-tiga perlu bahasan
lanjut. Umar bin Khatab sangat mendukung upaya kritis dari rakyatnya untuk
menjaganya dari blunder kebijakan (yang walau tidak disengaja/diharapkan
olehnya) mungkin bisa saja terjadi dan ini tentunya bukan hanya akan
menjerumuskan rakyatnya namun juga akan menyesalkan dirinya kelak (walaupun ini
semula diniatkan ridho Ilahi dan bukan karena khouf/roja – ancaman ketakutan/
dambaan harapan dari siapapun atau untuk apapun juga.) Kearifan yang lebih luas
diperlukan walau itu adalah demi kebaikan untuk menghindari kenaifan pandangan
dan keliaran tindakan nantinya. Ini dimaksudkan agar walaupun kesadaran rela
berkorban bagi diri sendiri demi kebersamaan memang ksatria adanya tetapi tega
mengorbankan orang lain demi kepentingan lainnya bukanlah sifat utama.
Walaupun
saya melihat keteladanan pada diri mereka semua namun demikian saya perlu
mengingatkan bapak untuk tetap konsisten dengan pesan yang bijak pak Jokowi kepada
pak Ahok dulu (sebelum ‘pertaruhan’ capres) untuk tetap menjadi diri sendiri
(yang terbaik bukan hanya di hadapan manusia tetapi yang terutama di hadapan
Tuhan). Itu juga berlaku untuk setiap orang (baca: pemimpin) termasuk pak
Jokowi sendiri. Keteladanan memang diperlukan sebagai referensi eksternal dalam
pembelajaran diri namun suatu saat refleksi internal tetap akan diperlukan
untuk pemberdayaan diri juga karena setiap orang menjalani dharmanya
masing-masing yang bisa saja berbeda satu sama lain dalam dimensi ruang – waktu
kehidupan yang pastinya juga berlainan satu sama lain.
HADITS KEDUAPULUH TUJUH
عَنْ النَّوَّاسِ
بنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ
: الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ
يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ . [رَوَاهُ مُسْلِم]
وَعَنْ وَابِصَةَ
بْنِ مَعْبَد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جِئْتَ تَسْألُ عَنِ الْبِرِّ قُلْتُ : نَعَمْ،
قَالَ : اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ
وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ
وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ “
[حديث حسن رويناه
في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Al birru husnul khuluqi wal itsmu maa haaka
fii nafsika wa karihta an yathli’a ‘alaihin naasu
Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang
baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka
jika diketahui manusia “ (Riwayat Muslim)
Ji-ta tas-alu
‘anil birru ? Na’am.
Istafti qolbaka. Al
birru maa-thmaannat ilaihin nafsu wa athmaannaa ilaihil qolbu
Wa ilaa itsmu
maa haaka fiin nafsi wa taroddada fish shodri ~ wa in aftaakan naasu
wa aftauka
Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia berkata : Saya
mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu beliau bersabda : Engkau datang untuk menanyakan kebaikan
?, saya menjawab : Ya. Beliau
bersabda : Mintalah pendapat dari
hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa
adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam
dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.
(Hadits hasan kami riwayatkan dari dua musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad
Darimi dengan sanad yang hasan)
Tentang = Hati
Qoola
rosuululloohi shollalloohu ‘alaihi wasallam : wa inna fil jasadi mudlghotan
idzaa sholahat sholahal jasadu kulluhu wa idzaa fasadat fasadal jasadu kulluhu
alaa wahiyal qolbu. (an nu’man bin basyir /
rowahul buchori wa muslim).Artinya:”Bersabda Rosululloh S.A.W : Sesungguhnya
didalam jasad itu ada sepotong daging, ketika baik sepotong daging itu maka
baiklah jasad keseluruhan nya, ketika rusak sepotong daging itu maka rusaklah
jasad keseluruhannya, ingatlah ia itu adalah Hati”.
Nawwas
bin Sam’an Al Kilabi berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Tidak ada satu hati
pun kecuali ia berada di antara dua jari dari Jari-Jemari Rabb semesta alam.
Jika Dia ingin memberikannya keistiqamahan niscaya Ia akan berikan
keistiqamahan padanya. Dan jika Dia ingin memalingkannya (dari Islam) niscaya
akan dipalingkan-Nya dari Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
berdoa:Yaa muqolibal qulub, tsabit qolbii/quluubanaa ‘alaa diinik(a)
Wahai
/Robb/ Hyang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku/kami di atas agama-Mu.
[HR.Tirmidzi
3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shohih Sunan Tirmidzi III no.2792]
NB
= Sebagai penutup dari pesan sederhana
tentang kesederhanaan ini saya kutipkan sebuah hadits hikmah Wejangan Nabi
Muhammad SAW kepada shohabatnya (Abu Dzar Al Ghiffari)
Yaa
abi dzarrin, jaddidis safiinata ~ fa innal bahro ‘amiiqun. Wa khudiz zaada kaamilan
~fa innas safaro ba’iidun. Wa khoffifil himla ~ fa innal ‘aqobata ka-uudun. Wakhlishil
‘amala ~ fa innan naaqida bashiirun.
Wahai, abu Dzar. Pugarlah
kapalmu karena lautnya dalam. Dan bawalah bekal yang sempurna karena
perjalananmu jauh. Dan peringanlah beban muatanmu karena bukitnya terjal. Dan
ikhlaskanlah perbuatanmu karena pengawasmu sangatlah jeli.
Berdasarkan
uraian pada artikel ini saya yakin anda akan bisa memahami ‘hidden wisdom’ (hikmah
tersembunyi) dari ini. Caranya ? Istafti
qolbaka. Tanyalah pada hati nurani anda – hati yang senantiasa mengarah
kepada cahaya kebenaran Ilahi (Ilham fitrah azaliah yang diberikan oleh Tuhan sejak
ketiadaan hingga keberadaan makhlukNya). Hanya dengan senantiasa mementingkan
kebenaran Ilahi yang mengatasi segalanya, hati nurani (Qolbu salim = hati yang istiqomah
menjalani garis cahaya kebenaranNya – bukan yang sakit apalagi terkunci mati
sehingga buta dalam memandang, tuli kala mendengar dan bisu ketika berbicara kebenaranNya
dan tidak ada tempat kembali lagi baginya) ini akan mengarahkan penalaran akal sehat ,
kecenderungan gerak batiniah (fikiran & perasaan) /tindakan zahiriah
(ucapan dan tindakan) kepada kesadaran sejati jiwa insan kamilah yang mantap dalam
ridho-Nya (rodhiyah – demi keridhoan-Nya dan mardhiyah - yang diridhoi-Nya). Hati
tersebut sesungguhnya memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dalam menjangkau
pengetahuan, lebih dalam dalam menyelami kesadaran dan lebih luas dalam
merengkuh pengertian. (Gnosis Mistik Hikmah)
JOKOWI PILPRES
Membicarakan kebaikan (bukan mengidolakan)
orang lain sebelum tiba saatnya dia berada dalam situasi dan kondisi negatif
dalam kehidupannya (tidak sekedar pada situasi kondisi positif belaka) bahkan
hingga menjelang akhir kematiannya sebetulnya beresiko juga. Karena manusia
walaupun berpotensi baik namun juga cenderung buruk. Bisa saja yang kita puja
sekarang akan kita cela pada masa mendatang karena kekhilafan (keburukan dan
kesalahan yang bersifat pribadi bukan semata kemalangan atau kegagalan yang
bersifat kompleks) selalu saja akan bisa terjadi. Nobody but God is perfect.
Namun demikian, sebagai seeker pembelajar kehidupan kita memang harus selalu
membiasakan memandang sesuatu secara berimbang dan tidak berlebihan (Istilah
orang jawa = 'ora gampang ngentahke /ora langsung mandheke' = tidak mudah
mencela, tidak segera memuja ~ seperti
kezaliman kaprah yang menjadi kelaziman lumrah saat ini). Setiap pribadi yang
berperan dan segala peristiwa yang berlangsung adalah ayat media pembelajaran
dari Tuhan untuk memberdaya kita sebagai pengembara keabadian yang melintasi
kehidupan dunia ini sesuai dengan amanahNya. Diberkahilah bumi kebersamaan ini
atas kehadiran mereka (yang baik tersirat /tersurat , langsung /tidak) telah
memuliakan Dharma Tuhan melalui persepsi dan refleksi kehidupannya pada
lintasan garis samsara perjalanan keabadiannya yang senantiasa berhadapan dalam
pembelajaran dan pemberdayaan Tuhan di sini ataupun di sana, saat ini ataupun
nanti).
HADITS KEDUAPULUH
EMPAT
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ :
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ
مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ
هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ
مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ
عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا عِبَادِي
إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ
جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ
تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي .
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ
كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي
مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ
ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ
وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي
فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا
عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ
. يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ
أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ
اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .
[رواه مسلم]
Terjemah
hadits / ترجمة
الحديث :
Yaa ‘ibaadii innaa harromtu
zhuluma ‘alaa nafsii wa ja’altuhu bainakum muharroma fa laa tazhoolamuu
Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahuanhu dari Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza
Wajalla bahwa Dia berfirman: Wahai
hambaku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku
telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) diantara kalian, maka janganlah
kalian saling berlaku zalim. Wahai hambaku semua
kalian adalah sesat kecuali siapa yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah
kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah. Wahai hambaku, kalian
semuanya kelaparan kecuali siapa yang aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah
makan kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian makanan. Wahai hamba-Ku, kalian
semuanya telanjang kecuali siapa yang aku berikan kepadanya pakaian, maka
mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian pakaian. Wahai hamba-Ku
kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku
mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku
ampuni. Wahai hamba-Ku sesungguhnya tidak ada kemudharatan yang dapat kalian lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak ada kemanfaatan yang kalian
berikan kepada-Ku. Wahai hambaku seandainya sejak orang pertama di antara
kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada
dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak
menambah kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang
pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin
di antara kalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka di antara kalian,
niscaya hal itu mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku,
seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang
terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu kalian meminta kepada-Ku,
lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa
yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah
lautan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan
untuk kalian kemudian diberikan balasannya, siapa yang banyak mendapatkan
kebaikaan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan
selain (kebaikan) itu janganlah ada yang dicela kecuali dirinya. (Riwayat
Muslim)
Kehidupan
fana ini hanyalah lintasan garis keabadian dimana segala tindakan kita akan
berdampak pada atsar kesejatian kita berikutnya. Adalah bodoh jika kita bukan
hanya tidak memuliakan amanahNya dengan pencerahan kesadaran, harmoni
pengertian dan pemberdayaan kebersamaan namun justru mengotorinya dengan ghibah
penghujatan, fitnah penghasutan dan namimah permusuhan dalam kehidupan ini.
Memang tidak disalahkan untuk membela siapapun juga (untuk menguatkan yang
dizalimi dan mencegah penzaliman berikutnya) namun tidak dibenarkan jika itu
dilakukan dengan mencela (karena bukankah itu bentuk penzaliman yang beresensi
sama juga walau dengan obyek yang berbeda). Jalani saja permainan keabadian
yang disebut kehidupan ini secara dewasa dan dengan bijaksana. Semua ini
hanyalah media pembelajaran dan pemberdayaan dariNya untuk mengembangkan
kearifan kita dalam menerima kenyataan, keahlian kita untuk mengatasi permasalahan
dan kebaikan kita untuk menghayati kebersamaan.
Adalah
menarik melihat dinamika maneuver politis
dan kreativitas dukungan dalam pilpres 2014 ini. Mulai dari hal yang
memprihatinkan (fitnah tabloid obor rakyat, ghibah Sara di media sosial, tebar
pesona para kandidat yang terkadang berlebihan, saling mencela antara pendukung
yang agak kebablasan, dlsb) hingga hal yang menggembirakan (partisipasi aktif
rakyat disamping mobilisasi mesin partai koalisi seperti kontribusi melibatkan
pendanaan, konser salam dua jari, dll). Tampaknya bangsa ini tengah belajar
kembali untuk memberdaya (atau
memperdaya ?) diri sendiri dan saudara sesama putera bangsanya dalam episode
kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara. Semula saya masih bisa konsisten
dalam tasamuh/taqiyah untuk hal-hal yang
bersifat politik seperti ini dan hanya sekedar mengamati dan menikmati
perjalanan pesta demokrasi politik di negeri ini dikarenakan banyak hal yang
lebih utama lainnya perlu dikerjakan. Namun kemudian kehadiran kampanye
hitam/negative tabloid obor rakyat mulai mengusik ketenangan hati saya.
Haruskah saya berdiam diri saya ketika sesama saudara putera bangsa sudah saling menzalimi (diri sendiri dan
orang lain). Semula saya mengira akan ada perlindungan negara ini demi
kesetaraan hak bagi yang dizalimi karena cara ini sesungguhnya
kontraproduktif (hanya orang yang sakit
hatinya membenarkan penzaliman dari orang yang telah mati hatinya terhadap
orang lain yang bisa jadi dalam diamnya lebih hidup hatinya untuk bersabar
sebelum bertindak mencegah penzaliman berlanjut dari sesamanya). Walau mungkin
penzaliman ini dianggap ‘wajar’ sesuai dengan kelaziman yang ada tetapi ini
bukan saja sangat tidak adil namun juga tidak baik bagi kedewasaan dan
kebijaksanaan politik di negeri ini (kemenangan/kekalahan yang mulia dengan
cara beradab seharusnya lebih diutamakan ketimbang pemenangan/kesalahan yang
tercela di dunia pada saat ini dan dampak atsarnya di akherat kelak).. Di media sosial pembunuhan karakter yang
sistematis ternyata semakin berlanjut melalui ghibah SARA. Balasan dari
pendukung Jokowi-pun akhirnya muncul dengan isu yang sama terhadap keluarga
Prabowo. Dan sial … mengapa akhirnya sayapun ikut masuk juga melerai mereka
semua dengan mencoba melindungi yang satu dan mencegah yang lainnya atas
‘keadilan’ (atau kenaifan?) untuk saling melazimkan kezaliman tersebut. Semoga
Tuhan bisa memaklumi keberfihakan (terhadap Jokowi?) ini sehingga tidak
menjadikan keseimbangan dalam mengamati dan keberimbangan dalam menjalani hidup
ini menjadi terganggu akhirnya. Perang darat dan udara di pilpres ini memang
berkecamuk di mana-mana (Media Televisi, Media Sosial Internet, Surat ‘pribadi’
dukungan, dsb). Sesungguhnya akan terlalu banyak yang bisa diutarakan tentang
hal tersebut pada artikel ini. Namun demikian saya harus bijak untuk memilah
masalah yang krusial saja untuk dibahas. Kita fokuskan saja perjalanan Jokowi
ini dalam perjalanan Pilpres berikut ini.
1. Saat Pra Deklarasi
Begitu cepat waktu berlalu. Baru tahun lalu saya berencana menuliskan
ulasan tentang Jokowi dari sisi kemanusiaan tanpa tendensi politik apapun.
Namun tahun ini ternyata beliau begitu cepat meroket (sementara masa bhakti
sebagai walikota Surakarta belum selesai, dia akhirnya menjadi Gubernur
Jakarta. Masa pengabdian di Jakarta belum tuntas kembali dia menuju ke wilayah
yang lebih luas .. sebagai capres NKRI). Walaupun pencapresan pak Jokowi terasa
agak ‘Nggege mongso’ namun ….Well, Que sera sera… pantha rei (Baiklah, apa yang
terjadi terjadilah. Biar semua mengalir apa adanya). Saya mungkin sependapat
dengan bu Sutarti (tetangga bapak kala masih kecil) kala dia berkata : “kalau itu memang
kehendak Tuhan dia ini harus jadi presiden, ya…biarin aja….” So, biarkan sejarah akan menjawabnya. Seandainya Tuhan melalui pilihan
(mayoritas) rakyat menghendaki beliau menjadi pemimpin bersama bangsa ini maka
tiada mungkin kekuatan manusia yang akan (tega/bisa) menghalanginya. Demikian
juga jika sebaliknya .. Semoga ini tetap akan menjadi pembelajaran saat ini dan
juga akan jadi pemberdayaan saat nanti.
Setelah didesak para simpatisannya, bu Mega (Ketum PDI-P:
peringkat 1 Pileg) dan ‘koalisi’ kerjasama tanpa syaratnya (Nasdem, PKB, dsb)
akhirnya memandatkan pak Jokowi sebagai capres dan pak JK sebagai cawapresnya.
Sementara di fihak lain Pak Prabowo (Ketum Gerindra = peringkat 3 Pileg) dan pak Hatta sebagai capres dan cawapresnya
didukung koalisi besar “Merah Putih.’ Disayangkan pak ARB (Ketum Golkar =
peringkat 2 Pileg) pada akhirnya walau sudah promo jauh hari sebelumnya namun
tampak agak telat/ragu bergerak dan tidak jadi mengikuti sebagai kandidat
lainnya dan malah bergabung mendukung satu fihak …. suatu kemunduran yang walau
mungkin akan mengamankan kepentingan politiknya saat ini namun bisa jadi akan
berdampak buruk pada elektabilitas partai pada saat mendatang (Pada waktu
sebelumnya Ketum Golkar JK walaupun dipastikan tetap kalah namun tetap
bertanding menghadapi SBY. Walaupun akhirnya kalah seperti diperkirakan semula
namun sikap ksatrianya ini sangat dihargai publik dan ini setidak-tidaknnya
juga berpengaruh pada pencapaian pileg tahun ini yang cukup lumayan sebagai
runner-up sama sebagaimana pada awal reformasi dulu). Walaupun sebelumnya saya
berharap kehadiran ARB namun garisNya nenentukan berbeda. Pertarungan dua kandidat
(Jokowi & Prabowo sebagaiman harusnya …. bukan Jokowi vs Prabowo seperti
kelihatannya) sangat rentan dengan persaingan yang lebih sengit dan tidak sehat
bagi pembelajaran demokrasi kebersamaan bangsa dan pemberdayaan aktualisasi
kepemimpinan nasional bukan hanya dalam proses pemenangannya (saling mencela,
ghibah bahkan fitnah yang bukan hanya mengakibatkan cela dunia namun juga dosa
akherat terkadang tidak ragu dan tanpa malu dilakukan hingga munajat do’a untuk
‘memaksakan/mengarahkan’ Tuhan untuk membenarkan kepentingan ‘ukhrowi’ yang walau
sesungguhnya hanya dalam level pembenaran kemenangan duniawi semata) namun juga
dalam keberkahan selanjutnya (upaya kecurangan bahkan pencurangan publik, pembanggaan
kemenangan, kedengkian kekalahan hingga ‘agenda’ perselisihan, penjegalan,
penyelewengan dan perselingkuhan yang bukan hanya menjerumuskan kader namun
juga menelantarkan rakyat, membocorkan biduk negeri dan menghancurkan bangsa
besar ini). Lebih dari 3 kandidat sebetulnya akan lebih baik andaikan saja para
pembuat kebijakan tidak picik membuat produk regulasi yang menguntungkan bagi
mesin partai politiknya belaka dan penyelenggara demokrasi tidak licik main
proyek demi memperlama/memperbesar anggaran demokrasi. Satu putaran bisa saja
tetap dilakukan walaupun pemenang kontestan tidak harus ‘ideal’ 50 % plus satu
– karena sesungguhnya yang penting bukanlah sekedar siapa pemimpinnya nanti
tapi bagaimana cara kepemimpinan nanti dilaksanakan. Kandidat independenpun
bisa ikut (Adalah Haq bagi Tuhan untuk mempersilakan rakyat dalam menentukan
kelayakannya berdasarkan penalaran akal sehatnya, ketulusan hati nuraninya, dan
kesadaran fithrah jiwanya) untuk merealisasi kesetaraan hak dalam hukum dan
pemerintahan. Walaupun tentu saja filter untuk menentukan figure yang ‘mantep’ (memang
mempunyai kapasitas dan dukungan massa dalam pandangan publik) tidak sekedar
‘anggep’(hanya karena ‘bermimpi’ sudah bisa memimpin hanya dengan obsesi
menjadi dan ambisi berkuasa semata) perlu
dilakukan juga untuk menghindari berlimpahnya kandidat yang mendaftar dan
perpecahan keberlanjutan dalam ‘faksi kebersamaan’ /penyesalan mempermalukan ‘kebangaan
diri’ di kemudian hari . Diharapkan,
setelah paska pemilihan apapun juga yang dilaksanakan, paradigma sinergi
kebersamaan demi pemberdayaan dan kemaslahatan
lebih mengemuka ketimbang koalisi transaksional yang rentan
penyelewengan/perselingkuhan ataupun oposisi antipatis yang rentan penjegalan/
perselisihan dalam memperdaya bangsa dan membawa kemudharatan bersama. Demi
keberkahan Ilahiah, wakil rakyat harus utamakan rakyat – jangan makan rakyat,
memperdaya bangsa dan menghancurkan negara jika ‘cari makan’ atas nama ‘rakyat’
(harusnya: beribadah kepadaNya dengan mengabdikan diri sebagai pengemban
amanah) pada seluruh warga bangsa di negara Indonesia ini …. Vox populi, Vox
Dei.
2. Saat Deklarasi
Walau sebagai pelaksana tidak ada yang meragukan kemampuan
pak Jokowi, namun sebagai pembicara tampaknya masih perlu pengasahan dan
pengalaman lagi. Pada saat deklarasi (maaf) walaupun saya pendukung pak Jokowi
namun di media sosial saya harus adil dan fair dalam menilai prilaku yang ada
secara obyektif tanpa tendensi pribadi.
Walau saya tetap mendukung keautentikan dan spontanitas Jokowi namun saya harus
akui bahwa pada saat deklarasi itu sikap dan pidato Prabowo lebih bijak dari
sisi estetika dan rhetorika. Sikap kenegarawanan – apakah itu hanyalah sekedar
pencitraan ataupun memang benar demikian adanya – adalah mutlak untuk dilakukan.
Memandang persaingan dalam konteks persaudaraan, dan sportivitas kesediaan
menerima jika ternyata nantinya (mayoritas) rakyat lebih memilih pak Jokowi
sebagai pemimpin bersama rakyat walau beliaupun berusaha memenangkan pilpres
tersebut (dan hendaklah demikian pula sebaliknya).Secara pribadi saya tidak
mempermasalahkan ’feng shui’ bilangan apapun juga karena setiap angka bisa
memiliki simbolisasi apapun juga. Namun demikian ada yang menarik tentang
ungkapan filosofis dualisme akan undian nomor dua yang didapatkan. Walaupun
rhetorika silogismanya mungkin kurang tepat demikian, namun saya suka aspek
harmoni sebagai konklusinya (lebih bersifat Taoistik yang harmonis dalam
memandang dualisme keberadaan ketimbang zoroastrianisme yang menekankan
pertentangan aspek dualitas tersebut). Dalam hidup ini memang diperlukan
integrasi dalam merengkuh perbedaan sebagai keseluruhan (equilibrium pada
alithea – keselarasan dalam kebenaran) agar kita tetap seimbang dalam harmoni
berpandangan dan berimbang kala melakukan sinergi tindakan. Perlu kearifan
dalam kebaikan, keasihan dalam keadilan dan kebijakan
dalam ketegasan agar keberkahan tidak dipandang sebagai kelemahan bagi
penzaliman nantinya.
3. Saat Debat
Rosulullooh SAW ada menyatakan pada umatnya walaupun tidak
melarang perdebatan namun berusaha untuk menghindarinya walaupun berada dalam
fihak yang benar (untuk menghindari kemudharatan debat kusir, upaya merekayasa
rasionalisasi pembenaran kepalsuan, mempermulia diri dengan menjatuhkan
lainnya, dsb).
Namun demikian debat kandidat sesungguhnya bukanlah sesuatu
yang buruk selama itu dimaksudkan sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan
bagi demokrasi politik di negeri ini. Ini adalah media yang baik bukan hanya
untuk pengenalan dan silaturahim bagi para kandidat kepada publik untuk
mengajukan visi/misi program yang akan dilakukannya pada masa kepemimpinan
mereka kelak namun juga media argumentasi untuk saling asah, asih dan asuh
antara kandidat atas hal tersebut. Debat dilakukan sebanyak 5 kali.
DEBAT
I =CAPRES/CAWAPRES(Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Bersih dan Kepastian
Hukum) Senin (9/6/2014) dengan moderator Zainal Arifin Mochtar
(Dosen Hukum UGM).
DEBAT
II = CAPRES (Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial)
Minggu (15/6/2014) dengan moderator Ahmad
Erani Yustika (Guru Besar Universitas Brawijaya)
DEBAT
III = CAPRES = Politik Internal dan Ketahanan Nasional
Minggu (22/6/2014) dengan moderator Hikmahanto
Juwana (Guru Besar Universitas Indonesia).
DEBAT
IV = CAWAPRES = Pembangunan Sumber Daya
Manusia dan IPTEK
Minggu (29/6/2014) dengan moderator Dwikorita
Karnawati (Wakil Rektor UGM)
DEBAT
V= CAPRES/CAWAPRES = Pangan, Energi, dan Lingkungan.
Sabtu(5/7/2014) dengan moderator : Sudharto
P. Hadi (Rektor UNDIP)
Begitu banyak dinamika yang terjadi dan sesungguhnya menarik
untuk diulas namun demikian untuk menjaga kebersamaan ada baiknya untuk tidak
perlu scoring penilaian masing-masing kandidat demi menjaga kenyamanan antar
fihak dan membina suasana damai yang perlu dibangun menjelang akhir proses
pilpres 2014 ini. Setiap kandidat memiliki kelebihan yang harus diakui dan
kelemahan yang harus diterima apa adanya. Lagi pula yang utama adalah bukanlah
apa yang mereka katakan tetapi bagaimana tindakan mereka nantinya.
3.
ISTIRJA’AH / ISTI’ANAH
Hidup
bagaikan pelangi yang kaya warna yang membiaskan aneka ragam paradigm Realitas
kebenaran yang tersirat pada fenomena
kenyataan yang tersurat. Fenomena tersebut merefleksikan keaslian dan juga
kesemuan, kebenaran dan juga kepalsuan tergantung dengan kebenaran dan
ketepatan cara bagaimana kita memandangnya. Disadari atau tidak sesungguhnya
kita semua adalah para Truth Seeker (pencari kebenaran) dan Dharma Sekha
(penempuh keabadian) yang belajar dari Tuhan - Satya Guru Abadi- melalui
siapapun juga dan apapun saja dalam perjalanan kehidupan ini. Permasalahannya
adalah seberapa baik kita mampu untuk senantiasa memahami kenyataan, menghayati
kebenaran dan menjalani ketaqwaan pada garis cintaNya. Tuhan adalah Dzat Mutlak
yang imanensi keluhuranNya melingkupi segala sesuatu walaupun memang
transendensi kekudusanNya tak akan mampu terjangkau siapapun juga. Dunia dan
akherat hanyalah terminology peristilahan bagi Fenomena dimensi yang terpilah
bukanlah Realitas esensi yang terpisah. Pada hakekatnya (baik disini maupun
disana - baik sekarang ataupun nanti) kita senantiasa berhadapan denganNya.
Segalanya berproses, berlanjut dan juga berdampak pada saatnya.
Ada yang menarik pada debat
capres/cawapres terakhir ketika pak Jokowi memanjatkan do’a sapu jagat Islami
(QS 2 Al Baqoroh: 201) sebelum mengakhiri salam 2 jari penutupnya, sebagai
berikut :
201) Waminhum man yaquulu rabbanaa aatinaa fii ddunyaa hasanatan,
wafii l -aakhirati hasanatan, waqinaa 'adzaaban naar ; 201) Ulaa-ika lahum nashiibun mimmaa
kasabuu walaahu sarii'u lhisaab
201) dan di antara mereka ada orang yang bendoa:
"Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa
neraka". 202) mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian
daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Sebagai muslim secara pribadi
saya tidak memandang do’a ini sebagai
aneh adanya jika diucapkan oleh saudara muslim lainnya walaupun ‘keberanian’
ini – saya rasa – tampaknya cukup
mengejutkan (walau tidak dimaksudkan untuk mempermalukan apalagi sekedar
pencitraan) bagi para pencelanya yang sepanjang waktu di manapun berada
selalu “istiqomah” menjatuhkannya dengan ghibah bahkan fitnah
SARA demi ‘amanah’ tersirat pembenaran upaya transaksi kepentingannya di
pemerintahan kelak. Di sini saya tidak ingin membahas fitnah dan ghibah yang
salah arah tersebut apalagi mencari-cari kesalahan lughoh/fiqih dari do’a
tersebut (yang kita sadari hanyalah akan
mempermalukan diri dengan cela dunia dan
membebani diri dengan dosa akherat yang Allooh SWT yang Maha Jeli atas segala
tindakan zahiriah/batiniah makhlukNya tentunya tidak akan mudah terpedaya untuk
menerimanya hanya dengan ‘kesungguhan’ ratapan istighfar maupun salaman yang
mantap belaka kecuali dengan taubat nasuha yang tulus dan ishlah tamhuha yang
sadar untuk mengimbangi mizan amalan dan memperbaiki dengan iffah penebusan dalam
akhlak dan amaliah ketaqwaan berikutnya). Di sini saya akan mengkaji sejumlah
nash yang berkaitan dengan tahap ke-tiga pensikapan tindakan yang perlu
disarankan .... istirja’ah (keshabaran penerimaan) atau isti’anah (permohonan
petunjukNya). Dua istilah yang pada hakekatnya sama yaitu qona’ah – penerimaan
(tawakal setelah ikhtiar) untuk tetap bershabar dalam ‘mushibah’ dalam
kegagalan (jika kalah) dan istiqomah (kemantapan diri dalam petunjukNya) untuk
menjalani amanah (jika menang). Do’a
adalah permohonan, pengarahan dan pemberkahan. Permohonan adalah munajat keinginan
seorang hamba yang menyadari keterbatasannya sebagai makhluk kepada Tuhannya;
pengarahan adalah konsistensi tindakan untuk melayakkan diri dengan apa yang
dimunajatkannya; pemberkahan adalah keberlanjutan tindakan dalam sinkronisasi kebenaran
selanjutnya. Do’a sapu jagat tersebut memohonkan kita pada kebaikan dunia,
akherat dan penghindaran azab neraka. Namun demikian kita perlu arif dalam
memahami hakekat akan kebaikan (hasanah) Ilahiah yang terkadang bisa saja agak
berbeda dengan pandangan keinginan insaniah.
Bagi Tuhan segalanya
(peristiwa, keberadaan, dlsb) adalah baik adanya sebagai hikmah pembelajaran
keabadian dan inayah pemberdayaan kehidupan bagi setiap makhlukNya (QS 21: 35).
Kehidupan dunia sesaat mungkin saja hanya memandang apa yang
kita miliki dan nikmati namun demikian progress keabadian akherat sesungguhnya
mengutamakan bagaimana cara kita mensikapi dan tindakan apa yang perlu untuk
menjalaninya (QS
2: 216). Keberkahan in process yang diupayakan lebih
utama dari sekedar by product kesuksesan yang didapatkan dalam menempuh
perjalanan keabadiannya dalam hidup ini (QS 103: 1 – 3).
Referensi Hujjah
=
QS
21 : Surat Anbiya = 35
kullu
nafsin dzaa-iqotul mawti wa nabluukum bisy syarri wal khoyri
fitnatan wa-ilaynaa turja'uun
35)
tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
QS
21 : Surat Baqoroh : 216 =
Kutiba 'alaykumul qitaalu wa huwa kurhul lakum. Wa
'asaa an takrohuu syay-an wa huwa khoyrul lakum ; wa 'asaa an tuhibbuu syay-an wa huwa
syarrul lakum. Walloohu ya'lamu , wa-antum laa ta'lamuun.
[2:216] Diwajibkan atas kamu
berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
QS
103 : Surat Al ‘Ashr = 1 - 3 =
1) Wal
‘ashr(i); 2) Innal insaana lafii khusr(in) ; 3) illal ladzina aamanu,wa
‘amilush shoolihati,;wa tawaashou bil haqqi,wa tawaashou bish shobr(i).
1) demi masa ; 2)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3) kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati/memberdayakan
dalam mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.
Tadabur
ayat =
[103.1]
Pemberdayaan Waktu
Allooh SWT berfirman dengan menggunakan sumpah atas sesuatu yang sangat
berharga yang telah diamanahkannya kepada kita namun sering terlalaikan
pemberdayaan kemanfaatannya secara optimal dalam kehidupan kita : yaitu Al Ashr
(waktu). Waktu bersifat linear – dalam artian : dia terus melaju ke muka dan
tak pernah berbalik ke belakang. Waktu yang telah berlalu tak mungkin bisa kita
ulang kembali. Selain itu, jatah waktu kehidupan setiap manusia adalah sangat
terbatas (Tiada pesta yang tak berakhir demikian juga kehidupan kita di dunia
ini. Dalam hidup hanya satu yang pasti bahwa kita pasti mati.). Sedangkan
kematian itu sendiri walaupun bersifat kodrati, tidak bisa dihindari namun
kedatangannya adalah misteri. Untuk itulah diperlukan kebijaksanaan,
keseimbangan dan keselarasan dalam memanfaatkan waktu (baca: garis keabadian
hidup).
[103.2] Keterpedayaan
Nabi Muhammad S.A.W pernah menyatakan sebagian besar orang tertidur dan
bermimpi dalam hidupnya dan baru bangun dan terjaga ketika dia sudah mati.
Ketika waktu hidup telah terlewat, ketika segalanya sudah terlambat. Manusia
adalah makhluk yang walaupun secara alamiah berkecenderungan buruk namun
berpotensi baik. Manusia diberkahi akal-budi dan hati nurani yang
memungkinkannya memenuhi potensi kemuliaan fitrah jiwanya sepanjang dia mampu
memberdayakan akal-budinya dalam garis ketaqwaan yang diilhamkan kepadanya dan
tidak justru malahan terperdaya oleh kecenderungan buruk naluri hawa-nafsunya
sendiri. Ketidak-mengertian dalam memahami kebenaran abadi, ketidak-berdayaan
dalam kemelekatan kehidupan duniawi, dan ketidak-perdulian untuk pemberdayaan
kelanjutan ukhrowi telah menyebabkan mereka terperdaya dalam kesia-siaan bukan
hanya dalam menempuh dampak kehidupan saat ini namun juga dalam melanjutkan
atsar keabadiannya nanti.
[103.3]
Keberdayaan
Keberdayaan bagi mereka yang sholihun li nafsi wa
muslihun li ghoirihi (Pribadi yang bukan hanya memiliki kebaikan pada dirinya
namun juga membawa kebaikan bagi sesama lainnya) yaitu bagi yang beriman dan
beramal sholih serta juga saling mengingatkan/ memberdayakan dalam kebenaran
dan keshabaran. Dengan landasan arkanuddin (rukun agama: iman, islam, dan
ihsan) yang kaffah mereka melaksanakan arkanul amal (rukun amal: ittiba,
ikhlash dan mahabah) yang benar baik hablum minallooh/minan nas dan saling
memberdayakan dengan sesamanya dalam kebenaran arkanul ‘ilmu (rukun ilmu:
mempelajari, melaksanakan dan mensiarkannya) dan keistiqomahan arkanush shobr
(rukun sabar dalam menerima musibah. menjalani keta’atan, menghindari
kemaksiatan).
Senantiasa ada hikmah
kebijaksanaan akan kebenaranNya yang tersirat dari hibrah fenomena kenyataan
yang tersurat dalam setiap peristiwa/keberadaan bagi setiap makhlukNya sebagai
penjelajah keabadian dan penempuh kehidupan ini untuk bersikap secara benar dan
bertindak dengan bijak karena pada hakekatnya segala sesuatunya (baik atau
buruk) hanyalah media ujian dariNya (QS 2: 155 - 157). Jadi,
Amor Dei, Amor Fati … jika cinta Tuhan, cintailah GarisNya – Cukuplah Tuhan
sebagai saksi bagi Ihsan dan pelindung untuk istiqomah (QS 3: 173 ) sebagaimana
iftitah komitmen peribadahan diri hanya kepadaNya (QS 6: 162) karena memang diperlukan akal sehat, hati
nurani dan kemantapan jiwa dalam mensikapi dan menjalani permainan keabadianNya
yang disebut kehidupan ini (QS 89: 27 – 30)
Referensi Hujjah
=
QS
2 Al Baqoroh : 155 – 157 :
155) wa lanabluwannakum bisyay-in minal khowfi wal juu'i wa
naqshin minal -amwaali wal -anfusi wats tsamarooti
wa basy-syirish shoobiriin ; 156) alladziina
idzaa ashoobat-hum mushiibatun qooluu
: “ innaa lillaahi wa -innaa
ilayhi rooji'uun ; 157) ulaa-ika 'alayhim sholawaatun
min robbihim warohmatun wa ulaa-ika humul muhtaduun.
155) Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. 156) (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Sesungguhnya kita semua berasal
dari Allooh dan sesungguhnya kepadaNya kita akan kembali” ; 157) Mereka
itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
QS
3 Ali Imron 173:
Alladziina qoola
lahumun naasu innan naasa qad jama'uu lakum fakh-syawhum
fazaadahum iimaanan wa qooluu hasbunaallaahu
wa ni'mal wakiil
[3:173] (Yaitu) orang-orang
(yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung".
QS
6 Al An’aam 162 :
Qul Inna sholati, wa nusuki ; wa maa yahya,wa maa
maati lillaahi robbil ‘alamin.
Sesungguhnya
sholatku,ibadahku; hidupku, dan matiku hanya untuk Allooh Tuhan semesta alam.
QS
89 Al Fajr : 27 – 30 :
27)
Yaa ayyatuhaan nafsul muthmainah ;
28)
Irji’ii ilaa robbiki
roodhiyatam mardhiyyah; 29) Fad khulii fii ‘ibaadii ; 30) Wad khulli
jannati
27) Hai jiwa yang
tenang.; 28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.
29) Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, 30) dan masuklah ke dalam
surga-Ku.
Sebagaimana fatihah pembuka
untuk senantiasa mengingatkan komitmen iman kesaksian akan kemuliaan Tuhan,
munajat keistiqomahan dalam islam dalam tujuan peribadatan/permohonan petunjuk dan
munajat permohonan agar senantiasa terbimbing dalam jalan lurusNya untuk
sekaligus mampu memahami kebenaran tanpa kesesatan dan menjalani ketaqwaan
tanpa kemurkaanNya dan penzaliman kepadaNya (QS 1 : 1 – 7) maka hendaklah
ketaqwaan islamiah abadi terus dijalani disamping menjaga kebersamaan dan memberdaya kebenaran
dengan seruan keteladanan akan kebajikan, kesantunan dan kebijakan untuk
menghindari diri dan lainnya dari kemungkaran/penzaliman/penyesatan (QS 3: 102
– 106). Terakhir kali, teruslah bermuhasabah dan bermujahadah dalam
pemberdayaan kerobbaniahan diri agar kesejatian diri tidak terlepas dari Sumber
keabadianNya dalam menempuh kehidupan fana ini (QS 59 : 18 – 20)
Referensi
Hujjah =
QS
Al Fatihah : 1 - 7: Ini
adalah rangkaian ayat pembuka (fatihah)
1) Bismillaahhir rohmaanir rohiim; 2)
Alhamdulillahi robbil ‘aalamin; 3) Arrohmaanir rohiim; 4) Maaliki
yaumiddiin; 5) Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin; 6) Ihdinash shiroothol
mustaqiim ; 7) Shiroothol ladziina an’amta ‘alaihim - ghoiril: magh-dhuubi ‘alaihim,wa ladh-dhoolliin. ( Aamiin.)
1)
dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. ; 2) segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam; 3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.; 4)
yang menguasai di hari Pembalasan. 5) hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan
hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan; 6) Tunjukilah Kami jalan yang
lurus,; 7) (yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
QS
Ali Imron : 102 – 105 : Ini
adalah rangkaian ayat hujjah istiqomah & ukhuwah
102) Yaa
Ayyuhalladziina aamanut taqullooha haqqo tuqootihii ~ wa laa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.;103) Wa’tashimuu
bi hablillaahi jamii’aw ,wa laa tafaroquu; wadzkuruu ni’matalloohi ‘alaikum
idz kuntum adaa-an ~ fa’allafa baina quluubikum,fa ashbahtum bi
ni’matihii: ikhwaanaa ; wa kuntum ‘alaa syafaa hufrotim minan naari~ fa
anqodzakum minhaa; Kadzalika yubay-yinulloohu lakum aayaatihi la’allakum
tahtaduun.; 104) Wal takun minkumu ummatuy yad’uuna ilaal khoiri,wa
ya-muruunaa bil ma’ruufi,wa yanhauna ‘anil munkar; Wa ulaa-ika humul muflihuun.
105) Wa laa takuunuu kalladziina tafarroquu wa akhtalafuu mim
ba’di maa jaaa-a humul bayyinah. Wa uulaa-ika hum ‘adzabun ‘azhiim.
102) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
Keadaan beragama Islam. 103) dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk. 104) dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. 105)
dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat,
QS 59 Al
Hasyr = 18 – 20: Ini
adalah rangkaian ayat muhasabah
& mujahadah
18) Yaa
ayyuhalladziina aamanut taqullooha. wal tanzhur nafsum maa qoddamat
lighod(in); wat taqullooha inallooha khobirun bimaa ta’maluun; 19) wa laa takuunu kalladziina nasullooha
fa ansahum anfusahum ~ ulaa-ika humul faasiquun; 20) Laa yastawi ashabun
naari wa ashabul jannati/h ~ Ashabul jannati humul faa-izuun.
18)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. ; 19) Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. ; 20) Tiada sama penghuni-penghuni
neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah
orang-orang yang beruntung.
B. Jika Kemenangan Pada Prabowo
HADITS KEDELAPAN BELAS
عَنْ
أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “
[رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن
صحيح]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Ittaqillaaha haitsu
maa kunta ~ Wa atbi’is sayyi-atil hasanata
tamhuhaa, Wa khooliqin naasa bikhuluqin hasanin
Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin
Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam beliau
bersabda :
Bertakwalah
kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah
keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan
pergauilah manusia dengan akhlak yang baik “
(Riwayat Turmuzi, dia berkata haditsnya hasan, pada sebagian
cetakan dikatakan hasan shahih).
Seandainya
saja prioritas pada pengamanan, kemudahan dan kepentingan (sebagaimana naluri
ini inginkan) mungkin saya akan jatuhkan kepastian pilihan di sini (daripada
merepotkan dan menyusahkan diri dengan mengikuti nurani untuk memilih
kemungkinan pengharapan dan pembuktian perjuangan pada lainnya). Toh,
sebenarnya permasalahannya bukan pada siapa pemimpin bersama bangsa ini namun
yang utama bagaimana cara kepemimpinan nasional ini dilakukan nantinya. Akan
tetapi, biarlah semuanya terjadi. Walaupun tidak membela namun saya juga tidak
haq untuk mencela jika kemudian Tuhan (melalui pilihan mayoritas voters negeri
ini) menentukan fihak ini sebagai pemenangnya. Keikhlasan untuk arif menerima
segala sesuatu sebagai media pembelajaran keabadian dan proses pemberdayaan
kehidupan dari Tuhan haruslah juga ditegakkan (bukan hanya saya tetapi juga
kepada seluruh warga bangsa termasuk yang terlibat di fihak ini dan lainnya)
demikian juga jika kemudian ternyata terjadi sebaliknya. Ini hanyalah sekilas
episode permainan keabadianNya yang disebut kehidupan agar kita lebih mengenal
kebijakanNya yang tersurat dan kebajikanNya yang tersirat.
Saya
akui saya bukan politisi (walau memang tidak mengerti/menyukai intrik maneuver
di dalamya tetapi semoga tetap tidak perlu membenci dan berusaha untuk sekedar
memaklumi) namun saya salut dengan dengan kemantapan pertahanan fihak Prabowo
di permukaan. Dalam debat pilpres dan kampanye tampaknya fihak ini lebih bijak
untuk ‘cari aman’ sehingga akan lebih mudah dalam merealisasikannya nanti
(semoga istilah ‘lebih mudah’ ini tidak diartikan sebagai ‘lebih ada celah’
nantinya). Dengan mengajukan rhetorika konseptual dengan orasi yang tepat
(kemakmuran rakyat, pencegahan kebocoran, kemandirian bangsa,dst) dan cukup
dengan membatasi diri dengan menawarkan slogan pemberdayaan yang sudah menjadi
ketentuan untuk dilanjutkan (pemberdayaan bumi air tanah, peningkatan
kesejahteraan, dana desa 1 miliar, dlsb) secara effektif dan effisien telah
mengesankan sebagai program yang secara familiar terdengar lebih realistis
‘membumi’ ketimbang menawarkan inovasi program lain yang akan membebani diri
untuk dituntaskan juga nantinya. Walaupun saya tetap istiqomah mendukung Pak
Jokowi (karena simpati kepribadian, empati kemanusiaan dan pengharapan
perbaikan sebagaimana tersebut di atas) namun demikian secara pribadi saya
harus jujur mengakui untuk juga salut pada figure Pak Prabowo. Lepas dari
tuduhan sekedar trick pencitraan di permukaan, figure Prabowo saat ini (sebagai
‘korban media’ yang semula ‘direndahkan’ karena memory masa silam) ‘di luar
dugaan’ tampil memikat sehingga tidak mengherankan jika kemudian berdampak signifikan
pada peningkatan elektabilitasnya (lepas dari thesis akan kuantitas besarnya
dukungan simpatisan koalisi merah-putihnya dan antithesis dampak buruk serangan
sistematis atas ‘pembunuhan karakter’
Jokowi selama ini). Saya mencatat ada 3 hal positif yang dilakukan dan
ditunjukan Prabowo.
1. Saat Pra Deklarasi
Budaya demokrasi yang tidak sehat (kurangnya kepercayaan
rakyat, apatisme golput, pragmatisme voters, dlsb) serta beaya politik yang
tinggi (dalam registrasi, eksposisi,transaksi jual-beli suara) telah mengakibatkan politisi dan mesin
politik menjadi opurtunis untuk memembenarkan kepentingannya belaka. Benih
negarawan yang diharapkan dari setiap wakil rakyat untuk mengemban amanah
demokrasi akhirnya berubah menjadi mentalitas pedagang. Itulah kenyataan yang
terjadi di lapangan. Memang tidak haq untuk dibenarkan, namun ‘kesalahan’ ini
secara arif juga perlu dimaklumi keberadaannya. Marwah amanah berubah menjadi
marwah aman … ah (memperdaya diri demi kepentingan yang lebih menguntungkan
ketimbang tetap istiqomah memberdaya diri dalam keterbatasan). Bukankah sudah
dimaklumi dengan paradigma pembenaran (walau diakui bukan realitas kebenaran
yang seharusnya) bahwa dalam politik tidak (perlu) pendirian yang abadi kecuali
kepentingan diri (Palmertson). Walau sesungguhnya kelak akan kita sadari akan
dampak buruk transaksi ini, pohon-pohon besar yang me’lindungi’ ini suatu saat
justru akan menjadi benalu yang akan menggerogoti pemerintahan, memperbesar
penyelewengan dan meruntuhkan bangunan besar bangsa dan negara. Lepas dari
masalah kesadaran atau kepicikan maupun ketulusan atau kelicikan yang terjadi,
pameo ‘1000 kawan tidak cukup,1 lawan terlalu banyak’ sangatlah effektif untuk
mencitrakan diri dan koalisi ini sebagai kekuatan yang besar di permukaan
(walau mungkin akan rapuh dalam keberkahan pemerintahannya kelak). Walaupun
kemungkinan untuk sedikit berharap bahwa setiap rekanan koalisi akan tahu diri
untuk menjaga kehormatan dalam kebersamaan ini namun demikian hendaklah
pemerintahan Prabowo nantinya tidak ‘dikorbankan’ sebagaimana yang dialami SBY
sebelumnya (semoga Gerindra tidak menjadi Demokrat II – sebagai partai yang
terlalu dini kala berkuasa namun belum cukup dewasa untuk memilah keamanahan
dalam gelimang kesempatan yang rentan dengan penyelewengan). Keperwiraan
Prabowo untuk bersedia menampung kegalauan dan tentu saja transaksi kepentingan
rekan koalisinya (dengan segala resikonya di kemudian hari) perlu juga dihargai
sebagaimana ketegaran Jokowi untuk konsisten dalam kerjasama pemerintahan yang
lebih mantap di kemudian hari (walau dengan keterbatasan dukungan pemenangan
saat ini dan tampaknya juga hambatan dalam ‘rezim’ pemerintahan presidentiilnya
kala berhadapan dengan ‘mafia’ parlementer nantinya) sebagai dilemma utama yang
harus diamati, dialami dan diatasi nantinya.
2. Saat Deklarasi
Sebagaimana saya katakan sebelumnya di media sosial saya
harus adil dan fair dalam menilai prilaku yang ada secara obyektif tanpa tendensi pribadi. Walau saya tetap
mendukung keautentikan dan spontanitas Jokowi namun saya harus akui bahwa pada
saat deklarasi itu sikap dan pidato Prabowo lebih bijak dari sisi estetika dan
rhetorika. Walaupun memang ada su’u zhon (buruk sangka) bahwa yang dilakukan
oleh Pak Prabowo hanyalah basa basi dalam rangka pencitraan diri sebagai
negarawan belaka namun saya yakin itu sungguh demikian adanya pada saat itu dan
semoga itupun terbuktikan pada saat berikutnya. Demikian komentar saya pada sejumlah
media sosial
3. Saat debat
Tentang debat sudah diutarakan di atas. Tak ada scoring
penilaian masing-masing kandidat karena bagi saya pribadi yang utama adalah
bukanlah apa yang mereka katakan tetapi bagaimana tindakan mereka nantinya. Sebagai
seorang lulusan akademisi saya juga mengerti esensi dan seni debat, namun
demikian ketidak sungkanan pak Prabowo untuk setuju dan mendukung terhadap pak
Jokowi pada sesi ekonomi kreatif bukanlah suatu kekalahan (intelektual) tetapi
justru suatu kemenangan (spiritual). Sportivitas dan keautentikan pak Prabowo
lebih mendengar kata hati (ilham ilahi) daripada mengikuti instruksi timses
agar selalu berbeda pandangan (walau dalam kebenaran?)lebih membuat respek kita
daripada kecakapannya berpidato maupun kecakapan wawasan dan pemaparan program
lainnya.
Namun
demikian sebagaimana waktu ; kekuasaan adalah pedang bermata dua jika tidak
dipergunakan sebagaimana mestinya untuk memberdayakan bangsa ini maka pastilah
akan memperdayakan kita semua. Besar pengharapan untuk tetap terbuka
dibandingkan kekhawatiran untuk tetap terjaga agar dengan kearifan figure
kenegarawanan yang mulai tumbuh pada figure Prabowo ini dia tidak perlu
‘berkorban’/ ’dikorbankan’ lagi jika amanah kepemimpinan nasional negeri ini
nantinya dipercayakan kepadanya. Sebagai sesama putera bangsa, walaupun
bagaimana juga saya merasa perlu (jika tidak ingin dikatakan juga tetap wajib)
untuk melakukan sumbang-saran demi kebaikan kita bersama sebagai bangsa.
1. Jangan ulangi kecenderungan kesalahan sejarah lama yang
sama
HR
Bukhori – Muslim : Unshur akhooka zhooliman au mazhluuman. Qoola : Unshur
mazhluuman ~ fa kaifa anshuru zhooliman ? Qoola : Uhjuz ‘an zhulmihi ~ fa dzalika nashruhu. ( Tolonglah saudaramu baik yang menganiaya
maupun yang dianiaya. Diantara sahabat bertanya : Kami dapat menolong jika dia
dianiaya ~ bagaimana kami dapat menolongnya jika dia menganiaya ? Nabi SAW
menjawab : Kau cegah dia dari tindakan
penganiayaannya ~ maka dengan demikian kamu menolongnya dari penganiayaan)
L’histoire
ceripet (kata Necker?) …. Sejarah cenderung terulang (?) karena kita suka
membenarkan kesalahan serta melazimkan kezaliman pandangan/ tindakan orang lain
agar kita dapat memperdaya nurani kita (?) untuk melazimkan kezaliman dan membenarkan
kesalahan yang sama juga. Koalisi Merah Putih
walau besar namun sesungguhnya sangat rapuh karena banyaknya kelompok
kepentingan yang berada di dalamnya. Walau memang beaya politik partai pada
pemilihan untuk peraihan suara sebelumnya mungkin memang besar namun hendaknya
jangan menjadikannya alasan bagi pembenaran akan perlunya kebocoran anggaran
dan transaksi penjatahan yang tidak benar nantinya. Bagi peran tanggung jawab yang
proporsional mungkin saja bisa tidak terlalu disalahkan (kewajaran berpolitik
?) namun dampak penyelewengan kekuasaan yang bukan saja hanya membelenggu
kinerja koalisi namun dapat juga meruntuhkan bangunan agung kebersamaan bangsa
dan keberdayaan negara tentu saja akan riskan untuk dibenarkan. Janganlah
terjadi perselingkuhan antara ‘rezim’ presidensiil dan ‘mafia’ parlementer
nantinya walaupun kekuatan koalisi yang akan semakin besar nantinya dalam
berkuasa bagi upaya kritis oposisi yang sangat lemah baik di pemerintahan dan
di parlemen. Walaupun saya yakin mungkin akan ada penolakan sinergi dari fihak
lain (terutama : PDI-P tampaknya) hendaknya niatan baik pengajuan demi
perbaikan kebersamaan untuk pemberdayaan bangsa dan negara secara bersama-sama
tetap perlu dilakukan karena Indonesia bukan hanya Gerindra dan koalisinya saja
(walaupun mungkin bisa berbangga dan dapat leluasa berkuasa dengan 60 %
kekuatan di parlemen dan bahkan 100 % di pemerintahan nantinya).
2. Perlunya saatnya Ishlah Perbaikan Bersama
Rasullah
Saw. bersabda:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ثلاث من كن فيه
حاسبه الله حساباً يسيراً و أدخله الجنة برحمته قالوا : لمن يا رسول الله ؟ قال :
تعطي من حرمك وتعفو عمن ظلمك وتصل من قطعك. رواه الحاكم.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra., beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda: tiga perkara
yang ketika ada dalam diri seseorang maka Allah SWT. akan menghisabnya dengan
hisab yang mudah dan memasukkannya ke dalam Surga dengan rahmatNya. Sahabat
bertanya: bagaimana itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab: kamu memberi kepada orang yang menghalangimu, memaafkan orang yang
berbuat zalim kepadamu, menyambung tali silaturahmi kepada orang yang
memutusnya. (HR. Al-Hakim).
Tampaknya
demi keberkahan perjalanan bangsa dan negara ini untuk waktu selanjutnya, perlu
diadakan semacam agenda empati bangsa dan ishlah nasional untuk penuntasan ganjalan
permasalahan masa lalu. Walaupun sesungguhnya ishlah perbaikan lebih mulia
dimulai dari kebesaran jiwa (mahabah) fihak yang dirugikan (sebagaimana diatas)
namun demikian adalah lebih utama jika itu didahului dengan kerendahan hati
(tawadhu) dari fihak yang ‘dianggap’ bersalah. Tak perlu kepicikan perlunya ada
pengorbanan/ dikorbankan lagi (dan juga bukan kelicikan upaya untuk
menyudutkan/ mengakali orang lain untuk rela berkorban atau tega mengorbankan
lainnya demi pembenaran kepentingan dan pembelaaan kesalahan diri/faksi yang
tersirat ?)
Ini
tidak hanya berkaitan dengan upaya rehabilitasi ‘keterlanjuran’ sejarah
permasalahan HAM namun juga renegosiasi untuk nasionalisasi asset negara dan
permasalahan lainnya yang mungkin saja akan selalu diungkit dalam percaturan
politik negeri ini selanjutnya. Terlalu berat tantangan ke depan bangsa ini
jika setiap waktu selalu dibebani dengan duka/cela masa lalu saja. Tuntaskan
dengan empati bangsa, ishlah nasional, dan rehabilitasi kebersamaan namun juga
harus dengan keterbukaan perbaikan dan keikhlasan penerimaan dari seluruh
putera bangsa agar kemudian kita bisa berorientasi ke masa depan dengan bekerja
sama mengatasi masalah bangsa secara bersama.
3. Perlukah saatnya mempersiapkan Regenerasi
Nabi
Muhammad SAW berkata: Alla
Kullukum roo’in. ~ wa kullukum mas-ulun
‘an ro’iyyatihi. ; Fal amiirul ladzii
‘alan naasi ro’in ‘alaihim ~ wa huwa mas-ulu ‘anhum (“Ketahuilah…Setiap dari kalian adalah pemimpin yang
akan di mintai pertanggung jawabannnya, seorang imam adalah pemimpin bagi
masyarakatnya dan akan di mintai pertanggung jawabanya tentang kepimpinannya.
HR. Abu Daud).
Kepemimpinan
adalah suatu kebutuhan bukan hanya saat ini namun juga nanti. Kesadaran
kaderisasi/ keberlanjutan regenerasi terasa lebih bijaksana daripada ketamakan
berkuasa untuk menghindari chaos kepemimpinan pada masa mendatang, Adalah perlu
keteladanan dalam kepemimpinan nasional sebagai warisan dan juga panduan bagi
kepemimpinan bagi perjalanan generasi berikutnya. Perlu penciptaan iklim yang
sehat bagi kemunculan kader terbaik bangsa untuk di’wakaf’kan sebagai pengemban
amanah publik yang tidak tersandera oleh pembenaran kebanggaan/kepentingan
partainya disamping upaya pembelajaran dan pemberdayaan demokrasi sehat (tidak
membenarkan mentalitas pragmatisme : money politic, mafia parlementer, rezim
presidential, dsb) , pembudayaan kampanye positive nantinya (tidak
melazimkan kezaliman ‘pembunuhan karakter’ dan inovasi akal-akalan kecurangan
pemenangan, dsb) disamping kedewasaan dalam mensikapi dan menjalani
bersama-sama proses demokrasi secara bijaksana (bagi publik/media/timses(?) = tetap
bersabar menunggu untuk menghargai legitimasi legalitas penyelenggaraan untuk
menetapkan hasil resmi walau hasil asli mungkin sudah diketahui – tidak perlu :
nggege mongso/ngentahke – mandheke/ ; Bagi yang kalah (?) = tetap legowo
menerima jika ternyata jumlah mayoritas voters bukan pada fihaknya dan perwiro
memberikan selamat atas keberhasilan dan dukungan demi kebersamaan terhadap
yang kebetulan meraih jumlah mayoritas voters ; sedangkan bagi menang (?) =
tetap tawadhu tidak usah ‘umuk’/’kluruk’ (berbangga dan takabur menyombongkan
diri) karena akan memacu/memicu fihak lainnya ‘sumuk’/’ngamuk’ (gerah kesal dan
marah menghancurkan) untuk kemudian menganggap kemenangan itu sesungguhnya
adalah kemenangan bagi semua (bukankah ada sekian persen rakyat yang memilih
kandidat lainnya juga) dan merengkuh seluruh elemen bangsa sebagaimana layaknya
seorang negarawan (karena garisNya telah menjadikannya sebagai pemimpin bersama
bagi seluruh bangsa ini) untuk menjaga kebersamaan sesama dan bersama membangun
keberdayaan bagi semuanya.
PESAN TERAKHIR untuk JOKOWI
Saya
harus konsisten dengan mementingkan kebenaran Ilahi diatas segala wacana pembenaran
kepentingan belaka (walaupun itu pada fihak dimana kita berada) sebagaimana
yang saya katakan pada saat mensikapi hasil survey beberapa waktu yang lalu
Sebagai berikut :
Data survei hanyalah kalkulasi
statistik perkiraan yang didasarkan pada sejumlah responden yang (tidak su'u
zhon) bisa saja sudah diatur/atau teratur/ berdasarkan pesanan/kebetulan
sehingga hasilnya dapat dimanipulasi/terkonklusi. Yang utama adalah fakta sesungguhnya
di lapangan secara keseluruhan (semua voters) bukan hanya terbatas pada
responden survei bukan hanya saat lalu dan sekarang tetapi juga nanti. Secara
pribadi saya tidak terlalu merisaukan hasil survey yang dilakukan (mungkin
karena orientasi saya selama ini adalah keberkahan bukan pemenangan). Satu hal
yang mungkin kita lupakan adalah validitas representasi dari populasi yang
dilakukan apakah memang authentic adanya atau sekedar manipulative. Fihak Jokowi – JK sebagian besar adalah
relawan bukan bayaran ditambah dengan koalisi kekuatan partai yang ramping
(walau memang akan kuat nantinya karena relative bersih dari transaksi
koruptif) namun pada saat ini harus diakui tidak sekuat fihak Prabowo – Hatta
sehingga harus diakui sangat minim dari segi kekuatan pendanaan untuk
mengkampanyekan keberadaannya apalagi untuk agresi pembanggaan elektabilitas.
Walau saya lebih suka kepastian daripada sekedar persepsi keyakinan dalam
memandang kebenaran atas kenyataan yang sesungguhnya namun demikian kita juga perlu
memperhatikan kemungkinan tersebut jika memang demikian adanya. Orientasi hidup
adalah pemberdayaan. Jika saat ini turun itulah waktu kita harus terbuka
(muhasabah & mujahadah) untuk memperbaiki diri, jika saat ini naik inilah
saat kita tetap terjaga (tidak lengah/jumawa) untuk meningkatkan diri lagi.
Jangan berputus asa – teruslah
beusaha. Sebetulnya (QS 12: 87) 1) saya tujukan kepada mereka yang
sejak semula panic mencari-cari cara menegakkan diri dengan menjatuhkan lawan
dengan penghalalan aneka cara (kampanye hitam dan negative) namun virus
‘kekafiran/kefasikan’ tampaknya menjalar/menular ke fihak sini juga untuk
ikut-ikutan (imma’ah). Kembalilah sederhana – sembada dan prasaja lagi. Yang
utama teruslah bertindak dengan benar demi keberkahanNya dan insya Allooh
kesuksesan akan mengikutinya. Ada dua kekuatan lain yang bahkan lebih besar
namun belum bekerja secara nyata selama ini selain kekuatan mesin partai dan
responden pendukung yang kalian dan mereka kalkulasikan, yaitu : kesadaran
rakyat (terutama swing voters yang tidak terjangkau statistic dan justru
populasi terbesar di luar lingkaran kepentingan politik di negeri ini) dan
terutama Kuasa keIlahian (jangan pernah lupakan ini – (QS 59: 18 – 20) 2)). Di
bulan suci Ramadhan ini segalanya bisa saja terjadi dimana dengan keshobaran
; benih kebaikan yang lemah namun
direstui bumi (rakyat) karena diridhoi olehNya akan menjadi kuat dan semoga
bukan sebaliknya.(QS 2: 2493) atau QS 3:123 4))
Yang penting bukan bagaimana
awalnya kita tetapi bagaimana akhirnya nanti. Orientasikan diri untuk selalu
mementingkan kebenaran demi perjuangan/ keberkahanNya (hingga 2019 nanti) dan
jangan cemaskan diri hanya sekedar membenarkan kepentingan
memenangkan/mengalahkan (pilpres tahun 2014 ini) belaka. Jujur saja saya lebih
cemas jika kita tidak istiqomah hingga tahun 2019 nanti daripada keikhlasan
mengalah di tahun 2014 ini karena Tuhan pastilah menginginkan kita semua
sebagai bangsa untuk bersegera memberdayakan diri sebagaimana harusnya
ketimbang menunda memperdayakan diri seperti sebelumnya (QS 13: 11) 5).
Transformasi perbaikan, Transparansi keterbukaan dan Transendensi keberkahan
sudah seharusnya tegak secara haq di negeri ini.
Salam 2 jari – bangkitlah lagi
menguatkan diri. Bukan hanya demi kebajikan kita untuk istiqomah memperbaiki
diri dan memberdayakan kemajuan negeri ini tetapi juga demi kebijakan mereka
untuk ikhlash tidak menzalimi diri sendiri dan memperdayakan bangsanya
nanti.
REFERENSI =
1)
QS
12 Yusuf : 87 =
“ Yaa baniyya, idzhabuu fa tahassasuu
min yuusufa wa-akhiihi wa laa tay-asuu mir rowhillaahi. Innahu laa
yay-asu min rowhillaahi illaal qowmul kaafiruun.”
[12:87] Hai anak-anakku,
pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
2)
QS
59 Hasyr : 18 – 20 =
18) Yaa
ayyuhalladziina aamanut taqullooha. wal tanzhur nafsum maa qoddamat lighod(in);
wat taqullooha inallooha khobirun bimaa ta’maluun; 19) wa laa takuunu kalladziina nasullooha fa ansahum anfusahum ~
ulaa-ika humul faasiquun; 20) Laa yastawi ashabun naari wa ashabul
jannati/h ~ Ashabul jannati humul faa-izuun.
18)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. ; 19) Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. ; 20) Tiada sama
penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni
surga itulah orang-orang yang beruntung.
3) QS 2
Baqoroh : 249 =
Fa
lammaa fashola thooluutu bil junuudi, qoola: “innallooha
mubtaliikum bi naharin fa man syariba minhu ; fa laysa minnii. Wa man
lam yath'amhu; fa-innahu minnii. illaa mani ightarofa ghurfatan
bi yadihi.” Fa syaribuu minhu
illaa qoliilan minhum. Fa lammaa jaawazahu huwa, walladziina aamanuu
ma'ahu qooluu : “laa thooqota lanaal yawma bi jaaluuta wa
junuudihi.” Qoolalladziina yazhunnuuna annahum mulaaquulloohi : “ kam
min fi-atin qoliilatin gholabat fi-atan katsiirotan bi-idznillaahi.
Walloohu ma'ash shoobiriin.”
[2:249] Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia
berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka
siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa
tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah
pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara
mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah
menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada
kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka
akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit
dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar."
3)
QS
3 Imron : 123 =
Wa laqod nashorokumulloohu bi badrin, wa-antum adzillatun.
Fat-taquullooha la'allakum tasykuruun
[3:123] Sungguh Allah
telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu)
orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
mensyukuri-Nya.
4)
QS
13 Ra’d : 11 =
lahu
mu'aqqibaatun min/m bayni
yadayhi wa min kholfihi ~ yahfazhuunahu min amrillaahi. Innallooha laa yughoyyiru maa bi qowmin – hattaa yughoyyiruu maa bi-anfusihim. Wa-idzaa aroodalloohu bi
qowmin suu-an ~ fa laa marodda
lahu ; wa maa lahum min duunihi
min waal(in).
[13:11] Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum –
sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Tambahan
Penguatan =
Pilpres
di bulan Ramadhan nanti ini adalah penentuan.
Akankah
ada keikhlasan ilallooh (lillaah, billaah, fillaah) sesungguhnya untuk
mementingkan kebenaran pemberdayaan Badar ?
Ataukah
kemunafikan membenarkan kepentingan Uhud (ilayaa, ilainaa, ilaihim) memperdayai
bangsa ini lagi ?
Siapkah
bangsa ini bersegera memperbaiki negerinya sendiri hingga Tuhan layak
melimpahkan bangsa ini dengan perbaikan dan kemajuan dalam keberkahanNya ?
Atau
haruskah kita menundanya lagi untuk membiarkan kefasikan semakin lancang
melecehkanNya lagi dalam membenarkan
kesalahan dan melazimkan kezaliman di negeri ini ?
Benar
dan tidak salah itulah (seharusnya) jalan keberkahan kita demi amanah keabadianNya
dalam kehidupan ini. Menang atau kalah itu urusan nanti. Adalah Haq Tuhan
melalui hak rakyat untuk menentukannya. Walau menang yang diberkahi untuk
segera memberdaya untuk perbaikan diri dan kemajuan negeri kami harapkan namun
kami juga akan bisa menerima kekalahan demi ridhoNya (lebih baik kalah mulia
daripada menang tercela ~ bukan hanya pada awalnya namun juga nantinya. Semoga
Tuhan tidak mengazab bangsa ini sebagai bangsa yang sudah beranjak tua namun
tidak mau dewasa tetapi memandangnya sebagai bayi yang tidak buta namun
belum mampu membuka matanya akan Realitas kebenaranNya yang bukan hanya
tersirat pada fenomena kenyataan namun juga tersamarkan fatamorgana kefasikan).
Terus
memberdaya diri dan jangan terperdaya apalagi memperdayai – demi atsar
keberkahan perjalanan permainan keabadianNya yang disebut kehidupan ini.
Salam
dua jari untuk keberkahan (dan juga untuk kesuksesan yang Insya Allooh
mengikutinya) pasangan Jokowi – JK ke segala penjuru kaki langit di seluruh
negeri.
Tanda
zaman memang sudah semakin terbuka menampakkan kehendakNya. Apa yang menjadi
kehendakNya akan terjadi walaupun manusia berusaha keras untuk menghalangi.
Pilpres adalah media pembelajaran dan pemberdayaan politik bagi negeri ini
bukan sekedar mencari pemenang untuk berkuasa namun negarawan yang diberkahi
untuk mengayomi bangsa ini. Sebagaimana keimanan harus dibarengi dengan
keihsanan sehingga keislaman akan kaffah sejati, kebaikan dan keahlianpun harus
dibarengi dengan kearifan agar bukan kenaifan dan keliaran yang terjadi. Walau
mungkin ada sejumlah fihak yang menyatakan akurasi dari hasil quick count agak
berbeda (lebih obyektif / tidak
subyektif ?) dengan data survey elektabilitas. Namun saya tetap
menegaskan untuk tetap menghargai ‘aturan resmi’ yang ada. Intinya tunggulah
saat lembaga resmi umumkan hasil murni sesungguhnya (tetap kawal agar hasil
tersebut benar adanya walau mungkin tidak sesuai dengan harapan atau perkiraan
sebelumnya) dan segera memulai hubungan persaudaraan kembali diantara fihak
yang sebelumnya ‘berseteru’ karena rakyat, bangsa dan negara ini memerlukan
kita semua dalam kebersamaan, keberdayaan dan kebersatuan …. Indonesia. Adalah lebih bijak bagi semua fihak
untuk menjalani ini dengan kesadaran dan dalam kewajaran. Ini adalah refleksi
dari tabayun, tasamuh dan tawadhu yang sesungguhnya. Tabayun maksudnya kita
menerima kepastian akan kebenaran dari kenyataan yang ada dengan tanpa
berapriori satu sama lain. (Kepastian yang sudah jelas nyata lebih diutamakan
ketimbang perkiraan yang bisa saja salah). Tasamuh maksudnya kita toleran
menghargai perbedaan keberadaan/pandangan dan menghormati perasaan/keadaan
fihak lainnya. (tepo saliro/tanggap rasa = jangan ‘umuk’ apalagi ‘keluruk’ jika
tidak ingin saudara kita lainnya ‘sumuk’ bahkan ‘ngamuk’). Tawadhu artinya kita
berrendah hati akan kebijakan Tuhan yang tersirat melalui pilihan rakyat.
(Tidak semua voters yang tidak memilih kandidat lantas diartikan pasti tidak
menyukai kandidat tersebut karena bisa saja terjadi karena dia berada dalam
lingkaran kepentingan yang berbeda atau dalam sudut pandang yang berlainan).
Namun demikian tidak disalahkan (bahkan mungkin seharusnya dianjurkan) bagi
setiap fihak untuk melakukan pengawalan suara … tidak semata-mata demi
kepentingan pemenangannya sendiri saja namun demi keberkahan pelaksanaan proses
pembelajaran dan pemberdayaan demokrasi di negeri ini … agar bukan hanya pada
saat ini namun pada saat nanti tidak akan ada lagi penzaliman dan kecurangan
yang mungkin terjadi dan akan terulang kembali sebagai suatu kelaziman atau
bahkan ‘kepatutan’ yang perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai budaya
peradaban bangsa yang ‘adiluhung’.
Vox
populi, vox Dei …. Pada hak suara rakyat yang diberikan ada Haq suara Tuhan
yang harus ditegakkan. Melalui demokrasi pemilihan sesungguhnya diharapkan
melalui kedaulatan rakyat untuk bebas memilih sesuai dengan hati nuraninya
sendiri (tanpa terpaksa karena ancaman, terbelenggu dalam lingkaran dan
terpedaya dengan penyesatan) maka Transendensi keberkahan suara Kebenaran Ilahi
akan dapat diimplementasikan. Namun demikian kondisi ideal yang memungkinkan
hadirnya suara murni nurani rakyat ini tampaknya memang akan sulit dilaksanakan
dikarenakan senantiasa ada lingkaran kepentingan yang secara alamiah akan
terbentuk dan berusaha meraih kepentingannya. Dan itu wajar adanya dalam
kompleksitas kebersamaan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial) dan
karenanya kita akan menerima suara asli voters sebagai acuan dari demokrasi
yang bisa dilakukan sebagai alternative yang memang dirasakan lebih manusiawi
karena kesetaraan terhadap setiap warga pemilih ketimbang alternative lainnya
(system dynasti kerajaan atau bahkan kepemimpinan eksklusif semacam khilafah dan
lainnya) walaupun memang tidak dapat dipastikan nantinya bahwa kekuatan
mayoritas yang demokratis selalu identik dengan kebenaran kualitas akan
kepemimpinan yang lebih baik . Disamping itu diperlukan kultur demokrasi yang
sehat dan system penyelenggaraan yang kredibel untuk menampung demokrasi
tersebut sehingga memungkinkan keberkahan atas kebenaran dan kenyataan yang
terjadi apa adanya. Walau saya bisa menerima keberadaan quick count atau survey
elektabilitas lainnya dalam pemilihan namun demikian adalah benar adanya jika
demi kebajikan dan kebijakan bersama kita tetap menyerahkan ketetapan dari
penyelenggara (TPS hingga KPU) untuk menunjukkan kredibilitas amanah
kepercayaan (kebenaran Ilahiah dan keresmian lembaga) yang diberikan kepadanya
untuk melaporkan kepastian hasil nyata yang sebenarnya terjadi di lapangan
tanpa rekayasa apalagi tipu-daya dari semua voters yang ada (tidak sekedar
perkiraan statistic pada sejumlah sample populasi yang dipandang sudah layak
ditentukan sebagai ‘representative’ saja). Namun demikian walau legalitas
penyelenggara memang harus dihargai demi legitimasi kebersamaan saya juga
menghargai upaya real count kenyataan (bukan ‘real count’ keinginan apalagi
pesanan) berdasarkan hasil resmi penyelenggara sebagai bagian partisipasi aktif
bagi transparansi publik adanya untuk mengawal keberkahan bukan hanya produk
namun terutama proses demokrasi di negeri ini. Kepastian hasil resmi yang asli
apa adanya dari semua voters disamping kebenaran proses demokrasi yang
berlangsung adalah indicator bukan saja kesuksesan namun juga keberkahan bagi
negeri ini.
Seandainya
hasil pilpres nanti menjadikan Pak Prabowo sebagai pemenang hendaknya fihak Pak
Jokowi tetap legowo, ucapkan selamat dan berikan pendukungnya untuk juga
mendukung dalam pemerintahan mendatang demikian pula jika terjadi sebaliknya.
Seandainya Pak Jokowi yang ternyata terpilih (maaf demi keberkahan berikutnya) selain
melaksanakan janji politik sebelumnya maka saran bagi fihak pak Prabowo juga
berlaku kepada bapak Jokowi walaupun dalam paradigma pandangan yang agak
berbeda sesuai dengan latar keberadaan yang ada. Kemenangan hanyalah awal bukan
akhir tujuan. Sebagaimana kemerdekaan adalah awal bagi pemberdayaan bangsa dan kesejahteraan rakyat dalam kedaulatan negara, kemenangan (pilpres) hanyalah titik mula bagi perjuangan demi keberkahanNya
berikutnya dalam kebersamaan seluruh unsur bangsa dan untuk keberdayaan bagi
semua.
1. Jangan ulangi kecenderungan kesalahan sejarah lama yang
sama
Walau mungkin kurang tepat dan agak terasa dini
untuk menyatakan jangan ulangi kesalahan sejarah yang sama pada ‘new comer’
(pendatang baru) atau pemain lama yang
sudah terbukti / teruji sebelumnya namun saya sependapat dengan pak Prabowo
agar kita tidak perlu ‘kemresik’ (merasa suci) karena pada dasarnya potensi
untuk buruk bisa saja terjadi pada siapapun juga. Perlu ketawadhuan agar
keistiqomahan pada jalanNya nanti tetap diberkahi dan bisa terjaga. Adalah
bijak untuk tidak hanya belajar dari kesalahan orang lain pada masa lalu agar kesalahan
yang sama tidak perlu terjadi pada diri sendiri pada saat ini dan di kemudian
hari namun juga agar senantiasa waspada akan kemungkinan keterpedayaan diri untuk
hal yang bersifat baru pada saat nanti. Penyelewengan mandat amanah kepercayaan
rakyat bisa saja terjadi di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Walaupun
ekspektasi kepercayaan publik besar dikarenakan kerjasama yang dibangun adalah
tanpa syarat sehingga tidak mungkin ditekan oleh kelompok kepentingan manapun
juga namun demikian blunder penyelewengan kekuasaan tetap saja akan bisa
terjadi (baik disengaja atau tidak). Untuk itulah keistiqomahan dalam memandang
segala sesuatunya secara benar dan seimbang dan menjalaninya dalam
keberimbangan dan kebijaksanaan perlu diperbaiki (jika dirasa masih buruk dan
tetap ditingkatkan walau dianggap sudah baik).
Kepemimpinan
nasional adalah amanah bukan anugerah ataupun musibah. Presiden bukan hanya
kepala Negara tetapi juga Bapak Bangsa yang harus mengayomi semua. Rangkul lagi
seluruh elemen bangsa dalam kebersamaan dan keberdayaan Indonesia. Harmoni
kebersamaan yang baik dan sinergi kerjasama yang benar perlu diutamakan. Anda
bukan lagi petugas kader dari suatu partai ataupun kandidat dari suatu koalisi tetapi
sudah dipercaya sebagai negarawan bagi seluruh rakyat. Integritas kepemimpinan
nasional sebagai putera bangsa adalah lebih utama mengatasi segalanya. Walaupun
kita tetap harus menghargai dan tidak melupakan asal mula kita namun demikian
ada saatnya pada setiap kedudukan dalam pendakian bahwa kita harus melepas
keterikatan pada fase satu agar dapat melekat dengan benar pada yang tanggung
jawab yang lebih tinggi dan luas. Perlu kearifan dari partai/koalisi untuk
tidak menyandera kader/kandidatnya dengan kepentingan dirinya saja bukan saja demi
kebaikan dirinya namun juga demi keadilan semuanya. Dengan tetap mementingkan
kebenaran maka keberkahan Ilahi akan diraih dan kesuksesan sebagai pencapaian
by product in process juga akan diperoleh (bukan hanya bangsa/negara namun juga
semuanya termasuk partai/koalisi akan menerima keberkahanNya dengan lebih benar
adanya bukan hanya saat ini tetapi juga saat nanti …. Jika bukan sebagai
kredibilitas reputasi pencapaian nama baik
pada hidup di alam fana ini, insya Allooh sebagai amalan jariyah yang
berlimpah di akherat kelak).
Negeri ini adalah Bumi Tuhan bagi setiap
putera bangsa bukan hanya saat ini tetapi juga saat nanti. Kedaulatan NKRI
adalah harga mati. Kalau perlu buat rame (istilah pak Jokowi) jika ada yang
mengusik NKRI … tidak sejengkal tanahpun (istilah pak Prabowo) boleh hilang
terlepas dari bumi persada ini. Negeri ini adalah titipan Tuhan untuk tetap ada
sebagai amanah keabadian bagi generasi mendatang dan akan terus lestari dalam
keberkahanNya – negeri ini bukanlah warisan para pendiri bangsa sehingga
bukanlah hak yang haq untuk menggadaikannya terlalu lama apalagi menjualnya
untuk selamanya. Nasionalisasi asset bangsa dengan pemilikan pada BUMN tampaknya
akan lebih baik nantinya daripada renegosiasi kelompok kepentingan belaka.
Indikator peningkatan asset negeri pada setiap periode kepemimpinan nasional dan
semakin terakselerasinya tujuan nasional bangsa dalam mewujudkan masyarakat
adil makmur materiil spirituiil sebagai model keteladanan pada masa
kepemimpinan berikutnya perlu dilakukan pada periode ini dan mulai saat ini. Anggaran
surplus berkembang (pengembalian sisa dana kegiatan yang tak hak diminuskan dan
tak haq untuk dikosongkan agar berimbang apalagi ditambahkan pembocoran/penekorannya)
yang memungkinkan effisiensi pengeluaran dan pengembangan input pendapatan (melalui
pemasukan laba BUMN, Dana Bangsa/Infaq Hibah disamping pemasukan pajak)
tampaknya memang perlu dibudayakan keterbukaan transparansinya kepada publik. Kesegeraan
transformasi dalam merealisasi program yang realistis dan taktis terencana dan
terkontrol pada setiap pembangunan nyata perlu diutamakan ketimbang penelitian/perumusan
konseptualisasi proyek mercusuar belaka yang akan memboroskan waktu,
membocorkan dana dan memperdaya negeri ini. Transendensi keberkahan dalam
meningkatkan pemberdayaan kualitas hidup rakyat (pendidikan, kesehatan,
pekerjaan, transportasi, infrastruktur, wira usaha, dsb), pembangunan negeri
(policy kebermanfaatan kebijakan pemekaran/penggabungan wilayah pembangunan,
control tanggung jawab pemerintahan pusat NKRI terhadap ‘federasi’ otonomi
daerah), memantapkan ketahanan nasional (dengan kemandirian dan keberdayaan
bangsa) disamping kesiagaan pertahanan dan keamanan (Hankamnas, Hankamrata,
dsb), membawa kebaikan dan perbaikan bagi sesama (mediasi konflik internasional
dengan menghargai penegakan kedaulatan bangsa, perdamaian wilayah kebersamaan
dan keberdayaan sesama bangsa termasuk kebijaksanaan bukti pasti atas janji
pengakuan palestina merdeka sebagai permasalahan kemanusiaan dunia bukan atas
dasar sentimen agama atau antipati rasial belaka), penuntasan masalah di Surakarta & Jakarta
sebagaimana juga di seluruh wilayah Indonesia lainnya perlu dilanjutkan lewat
istana negara (alangkah baiknya jika pilkada serentak juga diagendakan nantinya
berbarengan dengan pemilihan lainnya bukan hanya demi effisiensi anggaran dan
effektivitas waktu namun terutama untuk ‘fair play’ mencegah
kesenjangan/kecurangan kader pejabat & birokrat publik incumbent nantinya),
pemberdayaan negara maritime (Hankam wilayah persada dirgantara di bumi
Nusantara, kebermanfaatan ekonomis distribusi/transportasi antar pulau,dll). Intinya
demi keberkahan Ilahi maka setiap program harus dilakukan, setiap janji perlu dibuktikan, setiap
visi/misi wajib diwujudkan. Yang lama dan sudah terbukti/teruji baik
dampaknya bisa dilanjutkan ;yang baru
perlu ditelaah kelayakan, kemanfaatan, dan kesegeraannya secara matang sebelum
dilaksanakan secara mantap demi kelancaran, kesuksesan dan terutama
keberkahanNya.
2. Perlunya saatnya Ishlah Perbaikan Bersama
Walaupun sesungguhnya
ishlah perbaikan akan lebih utama (walau ‘ewuh’) jika itu didahului dengan
kerendahan hati (tawadhu) dari fihak yang ‘dianggap’ bersalah. Namun demikian akan
lebih mulia (dan juga terasa mudah) jika dimulai dari kebesaran jiwa (mahabah)
fihak yang ‘merasa’ dirugikan. Tak perlu kepicikan perlunya ada
pengorbanan/dikorbankan lagi (dan juga bukan kelicikan upaya untuk menyudutkan/
mengakali orang lain untuk rela berkorban atau tega mengorbankan lainnya demi
pembenaran kepentingan dan pembelaaan kesalahan diri/faksi yang tersirat ?).
Upaya
fasilitasi bagi rekonsiliasi nasional akan kebersamaan dan kebersatuan seluruh
elemen bangsa dan para tokoh negeri adalah sangat mutlak diperlukan demi
kebaikan dan perbaikan bangsa ini di waktu mendatang. Perlu kearifan bagi
semuanya untuk menerima garisNya yang telah terjadi dan tak mungkin ditarik
kembali. Apa yang terjadi di masa lalu memang akan selalu menjadi penyesalan
pada masa nanti bagi para pelakunya namun hendaknya jangan menjadi pembebanan
yang tak berkesudahan dalam perjalanan sejarah bangsa ini hingga selamanya.
Hendaknya itu digunakan sebagai ‘koco brenggolo’ (cermin hikmah) bagi kita saat
ini untuk tidak gegabah membenarkan kesalahan dan ceroboh melazimkan kezaliman
pada saat ini bukan hanya untuk mencegah cela dunia dan noda ukhrowi bagi
pelakunya namun terutama demi kebaikan sesama dan perbaikan bersama nantinya.
3.
Perlukah saatnya mempersiapkan Regenerasi
Estafet kepemimpinan
adalah suatu keharusan pada saatnya nanti. Sebagaimana tersebut sebelumnya : Kesadaran
kaderisasi/keberlanjutan regenerasi terasa lebih bijaksana daripada ketamakan
berkuasa untuk menghindari chaos kepemimpinan pada masa mendatang, Adalah perlu
keteladanan dalam kepemimpinan nasional sebagai warisan dan juga panduan bagi
kepemimpinan perjalanan bagi generasi berikutnya. Perlu penciptaan iklim yang
sehat bagi kemunculan kader terbaik bangsa untuk di’wakaf’kan sebagai pengemban
amanah publik yang tidak tersandera oleh pembenaran kebanggaan/ kepentingan
partainya disamping upaya pembelajaran dan pemberdayaan demokrasi sehat (tidak
membenarkan mentalitas pragmatisme : money politic, mafia parlementer, rezim
presidential, dsb) dan pembudayaan kampanye positive nantinya (tidak melazimkan
kezaliman ‘pembunuhan karakter’ dan inovasi akal-akalan kecurangan pemenangan,
dsb) disamping kedewasaan dalam mensikapi dan menjalani bersama-sama proses
demokrasi secara bijaksana (bagi publik/media/timses (?) = tetap bersabar
menunggu untuk menghargai legitimasi legalitas penyelenggaraan untuk menetapkan
hasil resmi walau hasil asli mungkin sudah diketahui – tidak perlu : nggege
mongso/ngentahke – mandheke/ ; Bagi yang kalah (?) = tetap legowo menerima jika
ternyata jumlah mayoritas voters bukan pada fihaknya dan perwiro memberikan
selamat atas keberhasilan dan dukungan demi kebersamaan terhadap yang kebetulan
meraih jumlah mayoritas voters ; sedangkan bagi menang (?) = tetap tawadhu
tidak usah ‘umuk’/’kluruk’ (berbangga dan takabur menyombongkan diri) karena
akan memacu/memicu fihak lainnya ‘sumuk’/ ’ngamuk’ (gerah kesal dan marah
menghancurkan) ; untuk kemudian menganggap kemenangan itu sesungguhnya adalah
kemenangan bagi semua (bukankah ada sekian persen rakyat yang memilih kandidat
lainnya juga) dan merengkuh seluruh elemen bangsa sebagaimana layaknya seorang
negarawan (karena garisNya telah menjadikannya sebagai pemimpin bersama bagi
seluruh bangsa ini) untuk menjaga kebersamaan sesama dan bersama membangun keberdayaan
bagi semuanya.
Epilog
HADITS
? Uzlah nihayah
Hadits
Keempat Puluh
عَنْ ابْنِ عُمَرْ رضي الله عَنْهُمَا قَالَ :
أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ : كُنْ فِي
الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ . وَكاَنَ ابْنُ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ : إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ،
وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ
لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .
[رواه
البخاري]
Terjemah
hadits / ترجمة
الحديث :
Kun fiid-dunyaa kaa-annaka ghoribun au ‘aabiru sabiilin
Dari Ibnu Umar
radhiallahuanhuma berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memegang
pundak kedua pundak saya seraya bersabda : Jadilah
engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara “, Ibnu Umar
berkata : Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu
berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk
(persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu “ (Riwayat Bukhori)
Para mantan rekan mistisi mungkin
mencela (namun saya yakin untuk menjaga kemurnian batinnya mereka pastilah
hanya sekedar menyayangkan atau cukuplah memaklumi saja) artikel ini
dikarenakan saya mungkin dianggap terlibat terlalu jauh (tidak sekedar terkait
namun terasa sudah terikat pada hal duniawi … politik lagi … wah, payah kalau
tidak mau dikatakan parah). Namun demikian dengan tanpa maksud membela apalagi
mencela jika kemudian saya menyatakan bahwa hal ini mungkin tetap perlu (walau
tidak harus ?) dilakukan untuk sekedar sumbang saran bagi kebajikan sesama dan
kebijakan bersama sebagai warga bangsa. Walau diam tanpa kemelekatan memang
akan lebih memungkinkan kita untuk dibenarkan dengan tidak melakukan kesalahan
(termasuk juga kebaikan?) namun itu juga bukan suatu keutamaan jika kita
membiarkan avidya kebodohan/pembodohan
terus terjadi tanpa merasa ikut bertanggung jawab dan mencoba untuk
ambil bagian saling asah, asih dan asuh untuk mencerahkannya. Walaupun memang
keterlibatan mungkin cukup jauh namun semoga kemelekatan tidaklah dalam
sehingga upekkha nishkarma – keseimbangan batin dan keikhlasan hati tetap
terjaga. Kehidupan fana ini hanyalah lintasan
garis keabadian dimana segala tindakan kita akan berdampak pada atsar
kesejatian kita berikutnya. Jalani saja permainan keabadian yang disebut
kehidupan ini secara dewasa dan dengan bijaksana. Semua ini hanyalah media
pembelajaran dan pemberdayaan dariNya untuk mengembangkan kearifan kita dalam
menerima kenyataan, keahlian kita untuk mengatasi permasalahan dan kebaikan
kita untuk menghayati kebersamaan. So,…. jika saja artikel ini ternyata memang tidak cukup membantu – semoga
ini tidak akan dipandang sebagai mengganggu adanya. (Lagipula saya juga tidak
suka jika terlalu lancang untuk menggunakan hak bicara secara tidak haq
terlebih setelah baru saja mengalami dan perlu menjalani ishlah perbaikan
kedinasan dan kehidupan).
Walaupun tidak su’u zhon (buruk sangka
karena mudah-mudahan memang tidak demikian seharusnya) – sebagaimana suara
rakyat biasa lainnya – suara ini walau mungkin hanya terkesan sederhana namun
semoga saja kemudian (tidak) akan segera menghilang terabaikan. Ini hanyalah
suara keheningan dari sebagian besar swing voters negeri ini yang berada di
luar kepentingan politik praktis (kandidat, timses dan lingkarannya) untuk
menjaga dan membawa diri dengan tetap
berpartisipasi (tidak golput) dan sekedar kelayakan (kewajaran atau kesadaran
?) menggunakan hak pilih untuk menjalani kehidupan demokrasi di negeri ini
dalam mengaspirasikan harapan rakyat yang sebenarnya sangat sederhana :
-
Berdayakan kami dengan ikhlasnya
keteladanan (namun jika tidak mau) janganlah perdayakan kami dengan kepalsuan
pencitraan belaka.
-
Mudahkan kami dalam penghidupan di
negeri ini (namun jika tidak mau) janganlah persulit kami dengan ketentuan yang
terlalu menyusahkannya.
-
Bantulah kami dalam perjalananan
keabadian hidup ini (namun jika tidak mau) janganlah bebani kami tanggung jawab
kesalahan karma kolektif pada akhirnya.
HADITS KEDUA BELAS
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
[حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]
Terjemah hadits :
Min husni islaam mar-i tarkuhu maa laa ya’niihi
Dari Abu Hurairah radhiallahunhu dia berkata : Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
Merupakan tanda
baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya
(Hadits Hasan riwayat Turmuzi dan lainnya)
Baiklah, segenap idea tampaknya sudah tersingkap –
seluruh kata tampaknya juga cukup terungkap. Sementara perjalanan kehidupan belum
selesai , penjelajahan keabadianpun belum juga usai. Masih banyak pekerjaan
yang tertunda, begitu banyak kegiatan yang belum dikerjakan. Saya kira tidak
ada lagi yang perlu dikatakan walau masih banyak yang ingin dibicarakan. Adalah
Haq untuk menyatakan seperlunya saja sesuai kehendakNya dari kemungkinan hak
untuk mengatakan semua yang diinginkan belaka.
Jika ada kebaikan itu dari Tuhan karena Dialah sumber
dari segala keberadaan, kebenaran dan keindahan yang Haq dimana setiap
makhluknya hanya dapat memantulkan kemuliaanNya hanya sebatas keterbatasannya
(Dimuliakan Tuhan Hyang Maha Sempurna di atas segalanya – sehingga tiada haq
bagi kita untuk sedikitpun berbangga di hadapanNya). Jika ada kesalahan dalam
artikel ini maka ini sepenuhnya kekhilafan saya dalam menafsirkan dan
memantulkan pengertian dari pembelajaran keabadian yang diberikanNya dalam
pemberdayaan kehidupan ini (Dan untuk itu izinkan saya istighfar dan mohon maaf
atas kekurangan ini.)
Ya, Tuhan. Begitu luas dan dalamnya hikmah kebenaran
ilmu-Mu (yang sangat transcendental, transrasional dan translingual – melampaui
fananya keberadaan, terbatasnya penalaran dan jangkauan kebahasaan). Setiap
saat keterbatasan intelek dan intuisi menjelajahi cahaya ilmu-Mu, Kau bukakan
gerbang ilmu lainnya yang lebih luas untuk kembali dijangkau sebagai fakta,
direngkuh dalam idea, dan diungkap dengkap kata. Dan demikian selalu berlanjut (walau
memang harus diakui ada kegairahan jiwa yang ingin dewasa untuk berusaha
menyibaknya dalam kegelisahan hati untuk merengkuhnya dalam mandala global idea
pada keterbatasan akal untuk mengungkapkannya dalam rangkaian linear kata agar
bisa dilaksanakan melalui tindakan nyata.)
(Well, tampaknya sebagaimana karya yang lain, artikel ini
mungkin memang tidak akan pernah tuntas selesai walau deadline sudah habis dan
diperpanjang terus – menerus ….. Jadi, yah, diterima, dimaklumi dan dianggap
selesai saja. Gitu aja koq repot).
Wasalam.
POSTING
= di blogspot.com , Google Account , Facebook
Deadline selesai sebelum karya ini usai .... net baru hidup tetapi sesudah rampung debat pilpres terakhir dan mulai masuk masa tenang. Kapan-kapan saja direvisi dan dilanjutkan lagi sambil 'buat rame' beribadah sharing reload/upload data atau file penting lainnya di bulan suci Ramadhan ini.
BalasHapus